Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Menulis dalam Adukan Semen

26 Agustus 2019   00:43 Diperbarui: 26 Agustus 2019   01:09 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kegiatan sehari-hari dalam projek pembangunan sering menyuguhkan gagasan secara mendadak untuk saya tuliskan. Meski kondisi sedang kelelahan sepulang dari lokasi projek, saya masih memberi kesempatan pikiran saya terekam dalam tulisan. Tentu saja tulisan masih berupa gagasan dasar alias tidak tuntas.

Sebuah tulisan yang berisi kegiatan sehari-hari, menurut saya, merupakan cara lain untuk menyampaikan sesuatu dari suatu situasi dan pengalaman serupa sebelumnya. Cara lain ini saya lakukan pada saat saya tidak mampu menyampaikan secara runut dalam pembicaraan (lisan) dengan orang-orang di sekitar saya.

Kemampuan saya dalam berbicara memang sangat terbatas, karena kapasitas daya ingat yang dipengaruhi oleh kondisi fisik, kesempatan berbicara yang terbagi dengan mitra bicara lainnya, durasi pembicaraan yang pendek dan terpenggal-penggal, dan pembicaraan belum tuntas cenderung berganti topik.

Oleh sebab itulah saya pun mencari cara lain dan kesempatan untuk menuliskan apa saja yang telah terekam dalam gagasan dasar. Kegiatan sehari-hari dalam pekerjaan, tepatnya projek pembangunan, yang penuh dinamika antara teknis dan non-teknis, tentu saja sayang sekali kalau saya lewatkan begitu saja.   

Menulis Bukanlah Hobi Saya
Saya berpendapat bahwa menulis bukanlah hobi saya. Kalau pendapat saya ini saya sampaikan pada sebagian kawan, khususnya kalangan penulis, pendapat saya ini sering dianggap paradoks.

Akan tetapi, bagi saya, menulis merupakan bagian dari kehidupan saya. Sama halnya dengan menggambar. Artinya, menulis tidaklah bisa dilepaskan dari kehidupan saya, meskipun tidak perlu berjam-jam dalam satu hari.

Kalau menulis merupakan hobi, biasanya sekadarnya, dan tergantung seberapa jam bahkan minggu dalam satu kesempatan. Hobi yang saya maksud, semisal berenang, yang tidak setiap hari dan berjam-jam. Karena sekadar hobi, berenang dilakukan hanya satu-dua kali dalam seminggu.

Saya tidak pernah berpikir bahwa menulis sekadar hobi alias pengisi waktu sewaktu-waktu. Yang saya pikirkan sekaligus lakukan adalah menulis ketika saya berhadapan langsung dengan sepucuk buku tulis, apalagi komputer jingjing saya. Gagasan yang muncul secara mendadak, bagi saya, merupakan sesuatu yang berharga, dan wajib saya tuliskan tanpa perlu repot saya tuntaskan dalam satu kali duduk.

Dan, kebetulan, saya sering terlibat dalam sebuah projek pembangunan. Di sana saya selalu menemukan pertautan antara teori, praktik, dan pengalaman, baik pengalaman saya sendiri maupun pengalaman dari kondisi kontekstual (objek, pekerja, situasi setempat, administratif, dll.).

Pertautan hal-hal tersebut sangat mengasyikkan, bagaikan percumbuan paling syahdu antara jiwa-raga dan realitas. Percumbuan itu selalu mendebarkan, dan membujuk saya untuk menuliskannya. Aduhai!

Menulis tentang Bidang Saya 
Secara akademisi, pendidikan saya berlatar arsitektur. Perencanaan dan perancangan merupakan kegiatan yang biasa. Tak pelak, imajinasi dan fantasi pun terwujud, minimal dalam bentuk dua dimensi atau di atas kertas

Realitas yang kemudian saya hadapi adalah pelaksanaan dari perencanaan dan perancangan, baik direncanakan atau dirancang oleh orang lain maupun dari gagasan saya sendiri. Tentu saja, wujudnya berupa bangunan atau bagian bangunan secara nyata-fisik dan tiga dimensi.

Bagi saya, perwujudan fisik secara tiga dimensional merupakan realitas yang dinamis. Kalau sebuah perencanaan dan perancangan masih terikat dengan dimensi asumsif, perwujudan fisiknya bisa dilakukan secara fleksibel alias beradaptasi dengan dimensi realitas. Ukuran dan bentuk bisa mengalami perubahan, meskipun tidak terlalu kentara dalam satu kali pandangan.  

Tidak Melulu Teknis
Sebagian kawan atau orang di sekitar saya beranggapan bahwa sebuah pelaksanaan atau pembangunan hanya berkutat pada lingkup teknis. Misalnya membeli bahan (material), menempatkan material yang tepat, mengelola dan mengolah material, dan lain-lain. Selanjutnya adalah membangun sesuai dengan gambar kerja, dan selesainya adalah bangunan siap huni. Beres.

Beres, ya?

Ada persoalan non-teknis yang terkadang luput dari persiapan pelaksanaan pembangunan. Persoalan non-teknis tersebut berkaitan dengan situasi sosial di suatu tempat/lokasi atau kawasan. Misalnya?

Misalnya suatu projek pengembangan dan perbaikan (renovasi) sebuah unit rumah tinggal sederhana berada di kawasan perumahan bersubsidi yang baru dan mulai dipadati penghuni. Kawasan itu berada di daerah yang gersang, berbatu, dan tidak selalu mudah dalam penyediaan air untuk kerja.

Ya, seperti yang sedang saya tangani di pinggiran Kota Kupang, dan baru kali ini saya mengalami situasi non-teknis yang sulit jika saya bandingkan ketika menangani projek di Kalimantan, Jawa, dan Bangka. di wilayah pinggiran Kota Kupang ini saya mengerjakan renovasi sebuah rumah tinggal berukuran 36 meter persegi (tipe 36) dalam lahan seluas 84 meter persegi dan dengan ukuran kemiringan sampai 1,2 meter menurun ke belakang.

Lahan yang tersisa alias belum terbangun adalah 48 meter persegi. 48 meter persegi itu terdiri dari 1) 21 meter persegi di bagian depan untuk parkir dan bak penampung air bawah tanah; 2) 17,5 meter persegi di bagian belakang untuk dapur baru, ruang cuci, dan jemur; dan 3) 9,5 meterpesegi di bagian samping kiri.

Persiapan yang pertama adalah penyediaan material, misalnya pasir, kerikil, batu karang, dan lain-lain. Agar murah dan tidak kekurangan material, saya akan memesan pasir, kerikil, dan batu karang dalam jumlah satu bak truk (4-5 meter kubik). Beres, 'kan?

Oh, tidak semudah itu menganggapnya beres, Kaka! Sebagai penanggung jawab projek, saya yang paling dulu memikirkan ketidakmudahan, selain kemudahan secara teknis untuk dikerjakan oleh tim tukang.

Yang tidak mudah adalah menempatkan material itu. Sangat mustahil jika ketiga material dasar itu berada dalam satu lahan dan saat yang bersamaan. Kalau semen, sih, bisa ditempatkan dalam salah satu ruang dalam.

Tempat pasir di tepi jalan dan pagar tetangga (Dokpri)
Tempat pasir di tepi jalan dan pagar tetangga (Dokpri)
Menuang kerikil di sebagian badan jalan (Dokpri)
Menuang kerikil di sebagian badan jalan (Dokpri)
Meminggirkan tumpahan kerikil (Dokpri)
Meminggirkan tumpahan kerikil (Dokpri)
Membuat coran di setengah badan jalan (Dokpri)
Membuat coran di setengah badan jalan (Dokpri)
Hal yang paling awal dan mendesak untuk saya kondisikan adalah sosial alias berkenalan dan bergaul dengan warga terdekat di sekitar lokasi. Perkenalan dan pergaulan saya terapkan setiap hari, termasuk berkunjung pada saat hari raya, menyanggupi ajakan menyeruput kopi, pemberian solusi teknis dalam rencana seorang warga untuk merenovasi rumahnya, dan meminta izin untuk menempatkan material di luar lahan lokasi.

Perkenalan dan pergaulan secara intens pun tidak cukup. Saya selalu menyediakan diri saya untuk menampung komplain warga sekitar sekaligus meminta maaf, dan membenahi sebagian material yang mengganggu kelancaran kegiatan warga sekitar.

Saya juga selalu mempersilakan warga di sekitar lokasi projek itu untuk memasuki dan menyaksikan pekerjaan-pekerjaan yang sedang atau telah berlangsung. Kalaupun ada seorang-dua orang warga yang langsung memasuki lokasi, saya terima dengan senang hati.

Tulisan yang Relatif Sepele
Puji Tuhan, sejak awal hingga selesai projek itu saya menikmati situasi sosial dengan apa adanya, dan kondusif. Sebagian kegiatan sehari-hari di sana pun telah saya tuliskan, dan tayangkan di Kompasiana. Sebagian berstempel "Artikel Utama", bahkan sebagian lainnya sama sekali tidak mendapat stempel apa pun.

Memang sepele, yaitu projek renovasi rumah tinggal tipe 36. Juga sepele ketika mewujud dalam tulisan-tulisan sepele begini.

Yang tidak sepele adalah menuntaskan sebuah tulisan sepele, karena kondisi kelelahan atau kesempatan saya untuk menikmati istirahat total tanpa memikirkan hal-hal sepele yang berkaitan dengan projek serta pengalaman projek usang yang masih relevan untuk saya aduk dalam tulisan.   

Dan, bagi saya, sepele-tidak sepele memang relatif. Saya hanya merekam sebagian kegiatan sehari-hari saya dalam bentuk tulisan sepele. Entah bagaimana bagi Pembaca.

*******
Kupang, 25 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun