Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Pekerjaan, Pernikahan, Budaya, dan Puntadewa

6 Juli 2019   21:41 Diperbarui: 6 Juli 2019   22:24 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rekan-rekan di Kupang sering menceritakan tentang Soe yang bersuhu udara kontradiktif dengan Kupang. Sebagian orang pun menjuluki Soe sebagai "Kota Membeku" (The Freezing City).

Oh iyakah? Segigil apakah Soe? Apakah lebih gigil daripada kawasan wisata Kaliurang (Yogyakarta), Sentul (Bogor), Cisitu (Bandung), atau Clepor-Gondang (timur Kota Karanganyar Solo) yang pernah saya singgahi bahkan hingga berbulan-bulan pada masa lalu saya?

Sementara untuk daerah bersuhu "hangat" selain Kupang, mungkin Balikpapan juga termasuk, karena terletak di wilayah pesisir. Kampung halaman saya dan Yogyakarta, mungkin, berada di antara Kupang dan Soe. "Mungkin"?

Nah itu. Saya hanya bisa mengatakan itu "mungkin", karena asumsi saya dengan khayalan berdasarkan cerita beberapa rekan di Kupang.

Budaya Lokal

Mengenai budaya lokal, maksud saya, berkaitan dengan tradisi orang NTT dalam hajatan pernikahan. Pada 2014 (kedatangan ke-2) rekan saya lainnya pun menikah. Sama dengan pada 2018 (kedatangan ke-4) dengan pernikahan rekan lainnya.

Saya mengetahui sedikit saja mengenai budaya lokal sebagian masyarakat NTT, dan saya terheran-heran. Misalnya seorang anak menerima "Komuni Pertama" dalam Katolik atau mereka sebut "sambut baru" akan dilanjutkan dengan sebuah perayaan di rumah orangtua.

Hal "sebuah perayaan" ini tidak pernah membudaya di kalangan Katolik luar NTT, semisal ketika saya menerima komuni pertama di Bangka Belitung atau ketika saya menetap di Balikpapan. Acara khusus hanya diadakan di gereja selepas ibadah.

Misalnya lagi prosesi pernikahan. Di NTT ada istilah-istilah untuk sebuah prosesi pernikahan yang saya dengar sekilas, misalnya "mbotik" (seorang utusan keluarga pria melamar dengan tanda berupa sirih-pinang) dan "masuk minta" (meminang). Ada juga "belis" (mas kawin, mahar, atau jujuran di Balikpapan).

Saya sendiri tidak pernah mengalami hal semacam itu sewaktu akan menikah. Dari Jakarta saya sendiri datang ke rumah calon mertua di Balikpapan. Tidak ada tanda berupa benda apa pun. Tidak juga selanjutnya dengan meminang serta mas kawin.

Selain kedua hal tadi, pihak sanak-saudara memiliki kewajiban-kewajiban apabila salah seorang keluarga mengadakan hajatan, arisan, atau suatu kedukaan (meninggal dunia). Kewajiban paling sederhana adalah kehadiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun