Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Pekerjaan, Pernikahan, Budaya, dan Puntadewa

6 Juli 2019   21:41 Diperbarui: 6 Juli 2019   22:24 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lama ini saya menerima sepucuk undangan pernikahan dari seorang rekan. Isinya yang terpenting adalah pemberkatan pernikahan di sebuah gereja diadakan pada pkl. 10.00 WITA, dan resepsinya di sebuah hotel pada pkl. 18.00 WITA.

Melalui pesan di Whatsapp, rekan saya pun menulis, "Tanpa mengurangi rasa hormat di kawan2, melalui undangan ini, Beta mengundang kawan2 untuk turut serta merayakan kebahagiaan keluarga besar kami pada hari Kamis dan Jumat di Soe. Peminangan hari Kamis. Pemberkatan dan resepsi hari Jumat. Suatu kehormatan jika teman2 bisa menyempatkan diri hadir dalam  acara dimaksud. Karena berbagai keterbatasan, Beta minta  maaf sebesar2nya karena hanya bisa mengundang via WA saja." 

Bukan rekan saya yang akan menikah, melainkan adiknya. Pada 2017 atau kedatangan saya ke-3 di ibukota NTT saya berkenalan dengan adiknya. Kedatangan saya ke-4 (2018) juga sering bertemu dengan adiknya.

Sebelumnya saya mengenal rekan saya sejak 2013 atau kedatangan ke-1. Saya menyebutnya "rekan" karena beberapa kepentingan pekerjaan atau kegiatan selalu berhubungan dengannya.

Pekerjaan  

Keberadaan saya di Kupang selalu berkaitan dengan pekerjaan arsitektur, bahkan bisa dilanjutkan dengan realisasi secara fisik. Merancang dan membangun (design and built).

2019 merupakan kali ke-5. Dan kali ini dalam rangka sebuah pekerjaan renovasi dan pengembangan rumah tinggal seorang kawan. Saya yang merancang sekaligus merealisasikan rancangan saya sendiri.

Pekerjaan satu ini "agak" mendetail, karena keterbatasan lahan, pemanfaatan ruang, keterkaitan dengan bangunan yang sudah ada (eksisting), dll. yang perlu kecermatan dan keakuratan ukuran.

Dari segi pelaksanaan, saya bertanggung jawab dalam pengadaan bahan, penempatan bahan, penataan ruang bekerja, dll., sampai pada urusan pembayaran honor tukang setiap Sabtu berlandaskan volume pekerjaan.

Ya, saya merangkap jabatan dalam pelaksanaan pembangunan. Manajer projek (project manager), manajer lokasi (site manager), supervisor, pengawas, bendahara projek, logister, dan tukang gambar (drafter) di lokasi.

Saya tidak bekerja seorang diri, karena tiga rekan saya terlibat. Seorang di antaranya merupakan perwakilan dari pemberi pekerjaan sekaligus pemilik rumah. Urusan-urusan yang berkaitan dengan pengembang (developer) merupakan tanggung jawabnya, misalnya listrik, air, dll.

Seorang lainnya sering bersama saya untuk mendampingi saya di lokasi, baik untuk pengaturan bahan maupun ketika mendadak saya "utus" dia ke toko bahan bangunan karena saya sedang tidak bisa meninggalkan lokasi. Seorang lainnya lagi terlibat sewaktu-waktu (darurat) jika kedua rekan berhalangan.

Setiap hari, khususnya ketika malam, saya pun mengirimkan laporan, baik laporan pekerjaan berupa foto maupun laporan pengeluaran, ke sebuah grup di WA yang beranggotakan enam orang, termasuk pemilik rumah sekaligus pemberi pekerjaan.

Foto-foto itu meliputi suasana ketika pagi, kondisi bahan di lokasi, tukang sedang melakukan suatu pekerjaan, dan saya tutup dengan foto situasi ketika tukang dan anak buahnya sudah bubar. Artinya, semua harus terpantau, dan diketahui oleh semua anggota grup.

Sedangkan laporan pengeluaran berupa penggunaan anggaran sekaligus sisa (saldo) anggaran. Kalau anggaran sudah menipis, saya harus segera mengajukan permintaan dana segar. Berapa pun dana yang saya ajukan, penerimaan sampai dengan penggunaannya bisa diketahui oleh semua anggota grup.

Yang tidak kalah pentingnya adalah berurusan dengan tukang. Dari proses negosiasi, solusi tertentu, sampai dengan pembayaran honor pekerja, merupakan tanggung jawab saya. Baru kali ini pula saya bekerja sama dengan tim tukang itu, dimana keberadaan kepala tukang berasal dari rekomendasi rekan lainnya.

Dengan kondisi pendengaran yang kurang oprimal (karena sebuah kecelakaan kerja di masa lalu), bahkan "kasus usang" yang berkaitan dengan dua rekan saya dalam pembangunan rumah masa lalu, tentu saja, tanggung jawab saya ekstra serius.

Kepala tukang dan anak buahnya adalah orang NTT. Satu kali kepala tukang tidak bisa melakukan pekerjaan karena keponakannya menikah. Satu kali pula karena seorang saudaranya meninggal dunia. Ada juga anak buahnya tidak bekerja karena neneknya meninggal dunia.

Yang paling jelas adalah pembayaran honor tukang saban Sabtu sore. Saya dan tukang telah bersepakat bahwa pembayaran sesuai dengan volume pekerjaan. Besar-kecilnya tergantung hasil yang mereka kerjakan.  

Saya pun tidak mau turut mengalami "kasus usang" seperti dua rekan saya. Kasus itu berupa hasil pekerjaan yang melenceng, dan pekerjaan belum selesai tetapi semua honor sudah dibawa "kabur" oleh kepala tukang itu. Salah seorang rekan yang mengalaminya adalah rekan yang mengundang saya dalam pernikahan adiknya.

Belum Pernah Mengunjungi Soe

Meski lima kali berada di NTT, saya belum pernah mengunjungi Soe, meskipun saya pernah mengunjungi Sumba, dan Sabu. Padahal jarak ibukota NTT dan ibukota Kab. Timor Tengah Selatan (TTS) itu sekitar 109 km. Perkiraan waktu tempuhnya sekitar 2 jam lebih sekian menit

Rekan-rekan di Kupang sering menceritakan tentang Soe yang bersuhu udara kontradiktif dengan Kupang. Sebagian orang pun menjuluki Soe sebagai "Kota Membeku" (The Freezing City).

Oh iyakah? Segigil apakah Soe? Apakah lebih gigil daripada kawasan wisata Kaliurang (Yogyakarta), Sentul (Bogor), Cisitu (Bandung), atau Clepor-Gondang (timur Kota Karanganyar Solo) yang pernah saya singgahi bahkan hingga berbulan-bulan pada masa lalu saya?

Sementara untuk daerah bersuhu "hangat" selain Kupang, mungkin Balikpapan juga termasuk, karena terletak di wilayah pesisir. Kampung halaman saya dan Yogyakarta, mungkin, berada di antara Kupang dan Soe. "Mungkin"?

Nah itu. Saya hanya bisa mengatakan itu "mungkin", karena asumsi saya dengan khayalan berdasarkan cerita beberapa rekan di Kupang.

Budaya Lokal

Mengenai budaya lokal, maksud saya, berkaitan dengan tradisi orang NTT dalam hajatan pernikahan. Pada 2014 (kedatangan ke-2) rekan saya lainnya pun menikah. Sama dengan pada 2018 (kedatangan ke-4) dengan pernikahan rekan lainnya.

Saya mengetahui sedikit saja mengenai budaya lokal sebagian masyarakat NTT, dan saya terheran-heran. Misalnya seorang anak menerima "Komuni Pertama" dalam Katolik atau mereka sebut "sambut baru" akan dilanjutkan dengan sebuah perayaan di rumah orangtua.

Hal "sebuah perayaan" ini tidak pernah membudaya di kalangan Katolik luar NTT, semisal ketika saya menerima komuni pertama di Bangka Belitung atau ketika saya menetap di Balikpapan. Acara khusus hanya diadakan di gereja selepas ibadah.

Misalnya lagi prosesi pernikahan. Di NTT ada istilah-istilah untuk sebuah prosesi pernikahan yang saya dengar sekilas, misalnya "mbotik" (seorang utusan keluarga pria melamar dengan tanda berupa sirih-pinang) dan "masuk minta" (meminang). Ada juga "belis" (mas kawin, mahar, atau jujuran di Balikpapan).

Saya sendiri tidak pernah mengalami hal semacam itu sewaktu akan menikah. Dari Jakarta saya sendiri datang ke rumah calon mertua di Balikpapan. Tidak ada tanda berupa benda apa pun. Tidak juga selanjutnya dengan meminang serta mas kawin.

Selain kedua hal tadi, pihak sanak-saudara memiliki kewajiban-kewajiban apabila salah seorang keluarga mengadakan hajatan, arisan, atau suatu kedukaan (meninggal dunia). Kewajiban paling sederhana adalah kehadiran.

Sebuah kehadiran, kata seorang kawan di NTT, sangatlah penting. Uang bisa dicari dan dapatkan setiap hari, tetapi penikahan hanya satu kali seumur hidup. Jika tidak hadir dalam suatu hajatan atau kedukaan, ganjaran setimpal bisa terjadi pada siapa yang tidak hadir.

Oleh sebab itu, satu hari menjelang hari H (Kamis) sebagian rekan (semua asli NTT) sudah berangkat ke sana. Rencana mereka, kembali ke Kupang pada hari Minggu. Maklum saja, persahabatan, perekanan, dan persaudaraan sudah terjalin selama sekitar dua tahun, bahkan lebih.

Pernikahan dalam Gereja Protestan Tradisional-Lokal   

Istilah "gereja Protestan tradisional-lokal" hanyalah asumsi saya, karena nama daerah. Dan gereja-gereja beraliran Calvinisme itu bukanlah hal yang baru bagi saya yang penganut Katolik.

Sepupu saya merupakan jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ), tetapi saya tidak hadir dalam pemberkatan pernikahannya di gereja. Sewaktu SMA (SMA BOPKRI 2 Yogyakarta), aturan sekolah mewajibkan para siswa pergi ke geraja, yaitu GKJ Gondokusuman, pada hari tertentu.

Selain GKJ, ketika kuliah saya juga mengenal kawan-kawan saya dari gereja yang berbeda. Ada kawan yang bergereja di Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Ada kawan yang bergereja di Gereja Toraja (Getor), bahkan domisili saya di Balikpapan berdekatan dengan sebuah gedung Gereja Toraja.

Keluarga rekan saya yang menikah itu bergereja di Gereja Masehi Injili Timor (GMIT). Pemberkatan pernikahan di GMIT cukup menarik keingintahuan saya. Bagaimana, sih, prosesi pemberkatannya?

Sungguh Menggigilkan, dan Puntadewa 

Pada Jumat, sekitar pkl. 16.00 WITA saya pun berangkat ke hajatan keluarga rekan. Artinya, saya tidak bisa menyaksikan prosesi pernikahan menurut adat-budaya lokal, dan budaya gereja.

Satu lagi, kemungkinan tiba di sana dalam kondisi gelap alias tidak bisa menyaksikan Kota Gigil sebaik-baiknya, karena waktu tempuh sekitar dua jam lebih sedikit. Belum lagi kalau perjalanan tidak lancar, karena menjelang akhir minggu.

Ya, tiga kesempatan terlewatkan. Apa boleh buat, karena "tuntutan" pekerjaan saya.  Itu pun masih perlu disyukuri, karena saya bisa berangkat dengan menumpang di mobil rekan saya.

Sebelum pkl. 19.00 WITA saya dan tiga rekan saya disambut suhu yang menggigil di sana. Rekan saya masih harus menjemput rekan lainnya yang menginap di sebuah penginapan untuk suatu acara.

Sambutan gigilan sangat menggugah saya yang tadinya terlelap selama perjalanan karena kelelahan. Menurut rekam ingatan gigilan saya, malam itu suhu berada di bawah 14 derajat Celsius.

Dengan gigilan yang saya dapatkan, seketika saya teringat pada Kaliurang, Yogyakarta, pada 1990-an. Yang pasti, kenangan ketika saya masih aktif di pers kampus, dan sebuah penginapan di Kaliurang selalu menjadi tempat karantina untuk pelatihan jurnalistik tingkat fakultas yang diselenggarakan oleh Majalah Mahasiswa Tekni (MMT) "Sigma" dengan nama "Apresiasi Jurnalistik Mahasiswa" (AJM).

Lalu pkl.19.30 WITA saya dan rombongan sampai ke sebuah hotel yang menjadi tempat hajatan. Hotel yang hanya berlantai tiga, dan ruang hajatan di halamannya.

Meski bukan di sebuah ruang tertutup dengan suhu udara sejuk buatan mesin Air Condition (AC), di halaman itu suhu seperti berada di sebuah ruang hajatan umumnya di hotel-hotel semacam di Balikpapan, atau ruang kantoran. Sungguh menggigilkan!

Ternyata resepsi baru dilaksanakan sekitar pkl. 19.40 WITA. Artinya, molor, dan saya belum terlambat.  

Ternyata lagi, suvenir pernikahan yang saya dan rekan-rekan dapatkan adalah sebuah gantungan kunci berupa tokoh wayang bernama Puntadewa. Wow!

Ternyata kamera andalan dan android saya teringgal di mobil, karena berada dalam tas yang saya persiapkan bersama baju untuk mengantisipasi jika terpaksa menginap. Artinya pula, saya tidak bisa mendokumentasikan acara serta pernak-perniknya 

Dan, dua rekan saya tidak akan menginap di Soe, melainkan akan kembali ke Kupang setelah bubar acara hajatan. Sementara seorang rekan memilih menginap bersama rekan kami lainnya. Rekan yang kami jemput tadi ternyata sudah kembali ke penginapannya.

Artinya, malam itu juga saya bisa kembali ke Kupang, dan besok bisa langsung bekerja. Beres, 'kan?

Sekitar pkl. 23.00 WITA atau seusai acara terakhir dengan berjoget-berdansa saya dan dua rekan kembali Kupang. Lagi-lagi saya melanjutkan tidur selama perjalanan. Akan tetapi, tentu saja, tidur saya bisa benar-benar lelap dalam pelukan yang menggigilkan, meskipun AC mobil tidak diaktifkan.

Saya lega, karena bisa menghadiri hajatan rekan sebagai sebuah wujud apresiasi atas hubungan persahabatan perekanan, dan persaudaraan selama ini. Besok (Sabtu) saya pun bisa menunaikan pekerjaan akhir minggu dengan laporan harian sekaligus membayar honor tukang. 

*******
Kupang, 6 Juli 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun