Selain itu, bukan hanya untuk 2019. Masih ada 2024, 2029, dan seterusnya. Untuk apa mendirikan partai jika suatu waktu ditelan bumi, 'kan?
Tidak Ada Makan Siang yang Gratis
"Duel ulang" antara Jokowi-Prabowo dalam Pilpres 2019 setelah 2014 sudah terbaca oleh pakar Tata Negara ini. Ketika itu muncul isu adanya "poros ketiga".
"Mungkin saja terbentuk namanya politik. Kemarin kita bilang agak sulit tapi sekarang bisa terjadi tapi bisa juga hanya ada dua paslon. Kalau sudah mengerucut pasangan itu Pak Prabowo dan Jokowi nampaknya agak sulit muncul poros ketiga," kata YIM di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (9/4/2018).
Terbukti, 'kan, apalagi YIM "terpaksa" tidak melaksanakan mandat partainya sendiri untuk maju pada Pilpres 2019, baik sebagai capres maupun wapres, Â dalam Mukernas PBB, Minggu, 6/5/2018?
"Perkiraan saya kalau head to head sekarang Pak Prabowo dengan Pak Jokowi kemungkinan Pak Jokowi akan memenangkan pertarungan ini," ujarnya pada 9/4.
Catat, kemungkinan Pak Jokowi akan memenangkan pertarungan ini. Lalu, terkait dengan sikap-sikap berseberangannya dengan Jokowi dalam hal HTI, dan lain-lain seperti yang tertera awal tulisan ini.
Nah, kini (5/11), ada apa, ya, kok YIM mau merapat?
 "Ada apa" juga bukanlah hal yang luar biasa dalam dinamika politik praktis jika tokoh yang berseberangan kemudian bisa berdekatan bahkan merapat. Tentu saja "ada kepentingan". Bukankah ada ungkapan politis, bahwa "Tidak ada kawan atau lawan abadi", dan "Tidak ada makan siang yang gratis"?
Merapatnya YIM, patut diduga, terkait dengan beberapa hal. Di antaranya, adalah, pertama, keterlibatan dalam dalam pemerintahan jika Jokowi menang sekaligus ia gagal masuk Senayan. Paling tidak, ada kader PBB yang bisa berkontribusi sebagai menteri di kabinet Jokowi nanti.
Sebagai mantan menteri sekaligus pendiri partai, tentunya, tidak akan membiarkan kader-kadernya hanya menjadi penonton dalam tatanan negara-bangsa. Ada semacam tanggung jawab moral yang bisa disepakati oleh sebagian masyarakat umum.