Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 85-86

12 Oktober 2025   04:25 Diperbarui: 12 Oktober 2025   03:40 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

Seekor Kepiting Datang dengan Pesan

Mentari sore memantulkan cahaya keemasan di permukaan rawa yang tenang, membuat dedaunan basah dan batang pohon tampak seperti ukiran kaca yang berkilau dalam pelukan alam. Suara serangga menggumamkan kidung senja, sementara tiang-tiang sarang yang belum rampung berdiri canggung di antara rumput ilalang, seperti doa yang terpotong di tengah-tengah. Di bawah kaki sarang, lumpur yang dulu dipijak penuh semangat kini terasa seperti beban berat.

Musamus belum berbicara sejak pagi. Ia masih dalam diamnya yang penuh arti. Tetapi di sela keheningan itu, terdengarlah suara gemeretak lembut dari kejauhan, seperti kaki tua yang menyeret cangkang di atas lumpur.

Seekor kepiting rawa muncul perlahan, dengan cangkang kehijauan yang telah keropos oleh waktu dan sepasang capit besar yang bergerak lambat tapi tegas. Semua semut yang sedang bekerja berhenti. Beberapa mengerutkan antena, sebagian lain berbisik.

"Itu... Tua Kepa," gumam Rangga, mata membelalak.

"Dulu dia mencemooh kita, menganggap usaha kita sia-sia," sahut Luma pelan.

Tua Kepa, si kepiting tua dari palung terdalam Rawa Biru, memang dikenal keras kepala dan sinis. Dulu, ketika sarang baru mulai dibangun, ia sering muncul sambil berkata, "Untuk apa kalian mendirikan menara lumpur? Hujan akan menghancurkannya. Air akan menelannya." Namun sore itu, ia datang membawa sesuatu. Sebongkah serat rawa, berwarna cokelat gelap, basah dan kuat seperti otot tua yang tak mudah lelah.

Tua Kepa mendekat pelan. Lumpur melekat di sekujur tubuhnya, tapi ia tampak kukuh.

"Aku datang... bukan untuk mengutuk," katanya perlahan, suaranya serak seperti ranting tua yang patah. "Aku datang untuk menyerahkan ini." Ia mengangkat salah satu capitnya, menunjukkan serat itu.

Musamus, yang berdiri di dekat akar pohon, perlahan melangkah maju. Matanya masih menyimpan keheningan hari-hari sebelumnya, tapi kali ini ada sedikit cahaya di dalamnya, cahaya yang tak terlihat, tapi terasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun