Di Kaki Rawa, Tak Semua Ingin Bertahan
Rawa kembali tenang. Kabut menggantung seperti selendang tua yang menutupi luka di tanah. Bekas runtuhan tiang utama masih terlihat seperti bekas luka bakar di permukaan bumi, tak berdarah, tapi perihnya menjalar ke dalam hati. Dari kejauhan, rumah yang tengah dibangun itu tampak seperti mimpi yang tertunda: tinggi, megah, tapi separuhnya tergantung di udara yang gamang.
Musamus berdiri di batas koloni. Antenanya menangkap gelisah yang menyebar, lebih sunyi dari badai, tapi lebih meresahkan dari gemuruh langit. Ia tahu, tak semua bisa terus berdiri dalam ketidakpastian.
"Musamus," suara tua Witu, semut pekerja dari generasi sebelum Musamus, terdengar parau. Ia berjalan pelan dari bawah akar ketapang besar, ditemani lima semut lain yang membawa kantung-kantung kecil berisi bekal.
Musamus menoleh perlahan. Ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan dalam sorot mata tua itu.
"Kami... memutuskan untuk kembali ke akar lama," ucap Witu lirih. "Kami lelah. Rawa ini tak lagi seperti dulu. Tanahnya goyah, anginnya berubah arah, dan tiang-tiang mulai roboh."
"Tapi rumah ini belum selesai, Witu," sahut Musamus. "Kita sudah sejauh ini. Tak adakah keyakinan bahwa kita bisa menyelesaikannya bersama?"
Witu menunduk, lalu menjawab dengan getir, "Keyakinan butuh tenaga, Musamus. Dan kami tak muda lagi. Tenaga kami telah habis oleh badai pertama. Apa salah jika kami memilih berteduh saja... di tempat yang sudah pasti?"
Musamus terdiam. Ia menatap mereka satu per satu, semut yang dulunya membangun fondasi pertama, semut yang menjerang lumpur pertama, semut yang berjaga malam ketika ular rawa datang diam-diam. Sekarang mereka pergi, membawa kenangan di punggung dan kekhawatiran di hati.
Di kejauhan, Lere yang masih muda berdiri mematung, memandang para sesepuh itu berjalan menjauh.