Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru yang Berjiwa Guru: Hati, Teladan, dan Kebijaksanaan di Era Digital

6 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 5 Oktober 2025   19:22 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru yang Berjiwa Guru (Dokumentasi Pribadi)

Di era digital yang serba cepat ini, guru berdiri di persimpangan zaman. Layar gawai dan mesin pencari mampu menyajikan berjuta informasi hanya dalam sekejap, seakan-akan pengetahuan bisa dipetik begitu saja tanpa perantara. Namun, di balik kemudahan itu, ada sesuatu yang tak pernah sanggup dihadirkan oleh teknologi: sentuhan hati manusia. Di sinilah kehadiran guru yang berjiwa guru menemukan maknanya. Ia bukan sekadar pengajar yang terikat profesi, melainkan penuntun yang menyatukan cinta, teladan, dan kebijaksanaan dalam setiap langkah. Teknologi mungkin bisa menyalin kata, tetapi hanya guru yang berjiwa guru yang mampu menyalakan jiwa.

Hati: Mengajar dengan Cinta

Guru yang berjiwa guru tidak hanya menyalakan cahaya pengetahuan di benak murid, tetapi juga menghangatkan ruang hatinya. Ia mengajar bukan sekadar dengan otak yang penuh konsep, melainkan dengan hati yang penuh empati. Sebab pengetahuan tanpa cinta mudah layu, tetapi pengetahuan yang ditanam dengan kasih akan tumbuh menjadi kebijaksanaan.

Bayangkan seorang guru yang rela mendengarkan curhat muridnya di beranda sekolah ketika lonceng pulang telah lama berbunyi. Waktu pribadinya terampas, tetapi ia tahu, di balik cerita sederhana itu, ada jiwa muda yang mencari pengertian. Di situlah jiwa keguruan berbicara: sabar, tulus, dan tak menghitung untung-rugi.

Nel Noddings dalam bukunya The Challenge to Care in Schools (2005) menegaskan bahwa inti pendidikan adalah relasi yang berakar pada kepedulian. Murid merasa bernilai ketika ia dihargai sebagai pribadi, bukan hanya sebagai penerima informasi. Kehadiran hati guru menjadikan sekolah bukan sekadar ruang belajar, tetapi juga ruang bertumbuh sebagai manusia.

Maka, guru yang berjiwa guru adalah mereka yang membiarkan hatinya hadir, dan justru di situlah murid menemukan alasan untuk belajar, bukan karena diwajibkan, melainkan karena merasa dicintai.

Teladan: Hidup sebagai Pelajaran

Guru yang berjiwa guru memahami bahwa setiap geraknya adalah pelajaran yang diam-diam disalin oleh mata murid. Kata-kata mungkin membekas sesaat, tetapi keteladanan hidup meninggalkan jejak yang abadi. Seorang murid tidak hanya mengingat apa yang diajarkan, melainkan siapa yang mengajarkan: bagaimana ia bersikap, bagaimana ia menjaga janji, bagaimana ia menata hidupnya di tengah keseharian.

Di tengah derasnya arus digital, ketika informasi berseliweran tanpa henti, teladan moral guru ibarat mercusuar di laut gelap: menuntun, mengarahkan, memberi arah pulang. Murid belajar tentang kejujuran bukan dari buku, melainkan dari guru yang jujur dalam ucapannya; ia belajar tentang tanggung jawab bukan dari teori, melainkan dari guru yang menepati janji kecil sekalipun.

Albert Bandura dalam Social Learning Theory (1977) menegaskan bahwa manusia belajar banyak melalui observasi dan peniruan. Maka, sikap konsisten seorang guru menjadi kurikulum yang tak tertulis, tetapi lebih kuat dari sekadar kata.

Keteladanan inilah yang membuat guru yang berjiwa guru tetap relevan di era digital. Di balik teknologi yang canggih, murid tetap mencari sosok nyata yang dapat dijadikan contoh, seorang guru yang hidupnya sendiri menjadi pelajaran.

Kebijaksanaan: Menuntun, Bukan Hanya Mengajar

Guru yang berjiwa guru tahu bahwa banjir informasi di era digital tidak selalu berarti banjir kebijaksanaan. Justru di tengah derasnya arus data, murid sering kebingungan memilah mana yang benar, mana yang menyesatkan. Di sinilah guru hadir bukan sekadar sebagai pengajar, melainkan sebagai penuntun. Ia tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga menyalakan kompas batin yang menuntun murid untuk berpikir kritis.

Lebih dari sekadar memberi materi, guru yang berjiwa guru mengajarkan cara hidup: bagaimana bersikap bijak di ruang digital, bagaimana menimbang kebenaran sebuah berita, bagaimana menghargai etika ketika bersuara di dunia maya. Seperti ketika seorang guru mengajak muridnya meneliti sumber berita, memeriksa kebenaran, lalu merenungkan dampak dari menyebarkan informasi palsu. Tindakan sederhana itu adalah pelajaran tentang integritas, jauh melampaui teori.

Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menekankan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi proses membebaskan manusia agar mampu berpikir kritis dan mengambil keputusan yang bermakna. Kebijaksanaan seorang guru hadir ketika ia membimbing murid bukan hanya untuk tahu, tetapi untuk hidup dengan benar.

Maka, guru yang berjiwa guru adalah penuntun perjalanan, bukan sekadar pemberi peta. Ia menyalakan lentera di jalan murid, agar mereka belajar melihat dengan jernih, memilih dengan bijak, dan akhirnya menemukan arah hidupnya sendiri.

Tantangan di Era Digital

Di ruang-ruang kelas hari ini, seringkali murid lebih gesit menari dengan teknologi dibanding gurunya. Jari-jemari mereka lincah menaklukkan aplikasi, sementara sebagian guru masih tertatih menyesuaikan diri. Dari celah inilah muncul bisikan zaman: mungkinkah peran guru digantikan oleh mesin pencari, kecerdasan buatan, atau layar interaktif?

Namun, sejauh apa pun teknologi melangkah, ia tetap terbatas. Mesin dapat memberi jawaban, tetapi tidak bisa mendengar kegelisahan. Algoritma bisa menyusun informasi, tetapi tidak mampu menyalakan harapan. Justru di sinilah guru yang berjiwa guru tetap berdiri tegak: menghadirkan nilai kemanusiaan yang tak mungkin disalin oleh kecerdasan buatan.

Neil Selwyn dalam Education and Technology: Key Issues and Debates (2016) mengingatkan bahwa teknologi harus dilihat bukan sebagai pengganti, melainkan sebagai pelengkap dalam pendidikan. Yang paling penting tetaplah interaksi manusiawi yang penuh empati dan makna.

Karena itu, guru yang berjiwa guru tetap relevan. Ia hadir bukan hanya untuk menjawab pertanyaan murid, tetapi untuk menyentuh hatinya, menuntun arah hidupnya, dan mengingatkan bahwa pendidikan sejati adalah perjumpaan antarjiwa: sesuatu yang tak akan pernah mampu diberikan oleh mesin.

Pada akhirnya, esensi guru yang berjiwa guru terletak pada hati yang mengasihi, teladan yang memberi arah, dan kebijaksanaan yang menuntun. Teknologi boleh canggih, boleh mengisi ruang kelas dengan berbagai kemudahan, tetapi ia tetaplah alat. Guru (dengan jiwa yang hidup) adalah penuntun sejati, yang hadir bukan sekadar untuk mengajar, melainkan untuk membimbing. Di tengah derasnya arus digital, pertanyaan yang pantas kita renungkan adalah: sudahkah kita sungguh menjadi guru yang berjiwa guru? Bukan hanya pengajar dalam arti profesi, tetapi penuntun kehidupan yang menyalakan semangat, menumbuhkan manusia, dan meninggalkan jejak yang tak pernah lekang oleh waktu. (*)

Merauke, 06 Oktober 2025

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun