Keteladanan inilah yang membuat guru yang berjiwa guru tetap relevan di era digital. Di balik teknologi yang canggih, murid tetap mencari sosok nyata yang dapat dijadikan contoh, seorang guru yang hidupnya sendiri menjadi pelajaran.
Kebijaksanaan: Menuntun, Bukan Hanya Mengajar
Guru yang berjiwa guru tahu bahwa banjir informasi di era digital tidak selalu berarti banjir kebijaksanaan. Justru di tengah derasnya arus data, murid sering kebingungan memilah mana yang benar, mana yang menyesatkan. Di sinilah guru hadir bukan sekadar sebagai pengajar, melainkan sebagai penuntun. Ia tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga menyalakan kompas batin yang menuntun murid untuk berpikir kritis.
Lebih dari sekadar memberi materi, guru yang berjiwa guru mengajarkan cara hidup: bagaimana bersikap bijak di ruang digital, bagaimana menimbang kebenaran sebuah berita, bagaimana menghargai etika ketika bersuara di dunia maya. Seperti ketika seorang guru mengajak muridnya meneliti sumber berita, memeriksa kebenaran, lalu merenungkan dampak dari menyebarkan informasi palsu. Tindakan sederhana itu adalah pelajaran tentang integritas, jauh melampaui teori.
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menekankan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi proses membebaskan manusia agar mampu berpikir kritis dan mengambil keputusan yang bermakna. Kebijaksanaan seorang guru hadir ketika ia membimbing murid bukan hanya untuk tahu, tetapi untuk hidup dengan benar.
Maka, guru yang berjiwa guru adalah penuntun perjalanan, bukan sekadar pemberi peta. Ia menyalakan lentera di jalan murid, agar mereka belajar melihat dengan jernih, memilih dengan bijak, dan akhirnya menemukan arah hidupnya sendiri.
Tantangan di Era Digital
Di ruang-ruang kelas hari ini, seringkali murid lebih gesit menari dengan teknologi dibanding gurunya. Jari-jemari mereka lincah menaklukkan aplikasi, sementara sebagian guru masih tertatih menyesuaikan diri. Dari celah inilah muncul bisikan zaman: mungkinkah peran guru digantikan oleh mesin pencari, kecerdasan buatan, atau layar interaktif?
Namun, sejauh apa pun teknologi melangkah, ia tetap terbatas. Mesin dapat memberi jawaban, tetapi tidak bisa mendengar kegelisahan. Algoritma bisa menyusun informasi, tetapi tidak mampu menyalakan harapan. Justru di sinilah guru yang berjiwa guru tetap berdiri tegak: menghadirkan nilai kemanusiaan yang tak mungkin disalin oleh kecerdasan buatan.
Neil Selwyn dalam Education and Technology: Key Issues and Debates (2016) mengingatkan bahwa teknologi harus dilihat bukan sebagai pengganti, melainkan sebagai pelengkap dalam pendidikan. Yang paling penting tetaplah interaksi manusiawi yang penuh empati dan makna.
Karena itu, guru yang berjiwa guru tetap relevan. Ia hadir bukan hanya untuk menjawab pertanyaan murid, tetapi untuk menyentuh hatinya, menuntun arah hidupnya, dan mengingatkan bahwa pendidikan sejati adalah perjumpaan antarjiwa: sesuatu yang tak akan pernah mampu diberikan oleh mesin.