Capung yang Tak Lagi Singgah
Angin pagi menyusup di antara menara-menara kecil yang baru selesai dibangun di Kampung Musamus. Rumah-rumah mungil dari lumpur, rumput, ranting, dan air liur semut itu kini menjulang lebih tinggi dari sebelumnya. Di pucuknya, semut-semut penjaga berjaga, menatap rawa yang tenang, seolah sedang membaca isyarat dari gemuruh langit yang belum datang.
Namun, sesuatu terasa berbeda.
"Capung tak lagi datang," gumam Luma lirih, saat ia duduk di ujung rumah tertinggi, memandang ke sekeliling. "Sudah tiga hari tak kulihat sayap bening mereka menari di udara."
Di bawahnya, rawa membisikkan kisah lewat gelombang kecil di permukaannya. Seekor udang rawa menyelinap di antara akar bakau, sementara belut licin menyembul sesekali dari lumpur hitam. Kepiting bakau berlari kecil di atas akar palem yang menjuntai seperti jari-jari alam yang terjulur ke air.
Musamus, kepala kampung yang kini tampak lebih tua dari sebelumnya, menaiki jalan sempit di sisi menara, membawa setangkai daun pandan yang masih basah oleh embun. Ia menatap Luma dengan mata yang teduh, namun membawa kegelisahan yang sulit disembunyikan.
"Kamu merindukan mereka juga, ya?" tanyanya.
Luma mengangguk pelan. "Dulu, saat sore datang, puluhan capung hinggap di atap rumah kita. Mereka menyanyi, menari, dan mengawasi telur-telur kita dari pemangsa kecil."
"Mereka adalah teman kita yang bersayap," ujar Musamus, duduk di samping Luma. "Tapi rumah-rumah kita kini terlalu tinggi. Ujung-ujung ranting ini terlalu sempit. Mereka tak punya tempat hinggap."
Sejenak, hanya suara mambruk yang terdengar, memanggil lirih dari kejauhan. Sayapnya mengepak pelan di atas pohon ketapang, seakan turut merasakan sepi yang menyelinap di tengah kejayaan kampung.