Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 69-70

24 September 2025   04:25 Diperbarui: 24 September 2025   03:49 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

Pelukan Pertama Matahari

Fajar itu tak datang dengan gegap gempita. Ia tidak menggulung awan atau membelah langit dengan sinar menyilaukan. Tidak. Ia datang seperti pelukan ibu yang lama tak ditemui: hangat, perlahan, dan tanpa kata. Kabut yang semalam menggantung seperti jaring laba-laba mulai menghilang, dan pelan-pelan, lembutnya cahaya matahari menyentuh ujung semak ketapang dan ujung-ujung palem yang setia menanti. Alam seakan menahan napas, memberi ruang bagi kehadiran yang suci.

Musamus berdiri di atas gundukan tanah, menatap matahari yang perlahan muncul dari balik bentangan rawa. Ia menggigil bukan karena dingin, melainkan karena rasa syukur yang tak tertampung oleh dada kecilnya. Air telah benar-benar surut. Tanah yang semalam nyaris ditelan banjir kini mulai memperlihatkan urat-uratnya yang kuat. Udang-udang kecil mulai berenang kembali di saluran sempit. Seekor ikan loncat di kejauhan, menyambut pagi dengan lompatan kecil yang nyaris tak terdengar. Di balik rimbun bakau, seekor belut merayap keluar, menghindari sinar yang mulai menyentuh kulitnya yang licin.

"Dia datang, akhirnya," suara Panglima Rangga memecah keheningan. Ia berdiri di samping Musamus, tubuhnya masih basah lumpur, tapi matanya berbinar.

"Pelukan pertama," bisik Musamus. "Dan betapa sabarnya kita menunggu."

Burung-burung mulai berdatangan dari segala penjuru. Cendrawasih menari di atas ranting palem, bulunya bersinar seperti kabut emas. Kakatua berteriak, lalu terbang ke arah timur. Mambruk berjalan pelan di pinggiran rawa, kakinya menyentuh air yang hangat. Dari langit, burung elang Irian membentangkan sayapnya, memutari udara seolah hendak menyampaikan kabar ke seluruh penjuru Tanah Marind: kita selamat.

Musamus menarik napas dalam-dalam. "Tahukah kau, Rangga? Pelukan matahari pertama setelah bencana terasa seperti pengakuan: bahwa kita boleh lelah, tapi kita tak menyerah."

Rangga tersenyum. "Aku pikir, kita bukan hanya selamat. Kita bertumbuh."

Dari kejauhan, suara gaduh terdengar. Bukan suara ancaman, melainkan suara tawa. Anak-anak semut mulai berlarian di lorong penghubung antar-menara yang kini mengering. Mereka menggambar di tanah dengan ranting kecil, membuat lingkaran, menulis nama mereka, dan menuliskan pesan-pesan kecil untuk siapa pun yang kelak membaca.

Seekor anak semut, kecil dan kurus, menghampiri Musamus. Ia membawa sehelai daun ketapang yang masih segar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun