Refleksi dan Harapan
Teguran santun di Kantor Satlantas itu adalah contoh nyata soft policing, penegakan aturan yang tidak hanya mengandalkan sanksi, tetapi juga sentuhan edukasi. Lebih dari itu, ia mencerminkan semangat community policing, di mana aparat menjadi bagian dari denyut masyarakat, membangun kesadaran bersama demi ketertiban dan harmoni. Seperti dikatakan John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), keadilan dan keteraturan sosial lahir dari kesepakatan bersama yang dijaga oleh setiap anggotanya, bukan hanya oleh aparat.
Namun, tugas menjaga etika publik tidak bisa dibebankan kepada polisi semata. Keluarga adalah pondasi awal, sekolah menjadi ruang penguatan, dan masyarakat luas adalah ladang pembiasaan. Tanpa keselarasan ketiganya, sopan santun akan mudah layu di tengah arus individualisme yang kian deras.
Karena itu, mari mulai dari hal kecil. Duduklah dengan pantas di ruang tunggu, jaga kebersihan fasilitas umum, dan sisipkan rasa hormat dalam setiap gerak tubuh. Seperti diingatkan Simone Weil dalam The Need for Roots (1949), akar peradaban tumbuh dari perhatian kita pada hal-hal yang tampak sepele. Dari kebiasaan sederhana inilah kita merajut benang halus yang menghubungkan manusia satu sama lain dalam rasa hormat dan kepedulian.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kadang, pelajaran terbesar justru lahir dari peristiwa yang sederhana, bahkan dari satu kalimat teguran di ruang tunggu. Teguran kecil itu mengingatkan bahwa sopan santun bukan sekadar hiasan perilaku, melainkan inti dari cara kita menghargai sesama dan ruang yang kita bagi. Ia menegaskan bahwa peradaban tumbuh bukan hanya dari hukum yang tertulis, tetapi juga dari kebiasaan baik yang kita rawat setiap hari, dari kesadaran kecil yang konsisten dijalankan hingga menjadi budaya. Sopan santun adalah bahasa universal yang melintasi batas usia, status, dan budaya; saat kita menuturkannya dalam sikap dan tindakan, kita sedang menenun benang-benang halus yang menyatukan manusia. Dari benang-benang itu, lahirlah jalinan peradaban yang beradab, kuat bukan karena kekuasaan yang memaksa, melainkan karena rasa hormat yang mengikat hati satu sama lain. (*)
Merauke, 12 Agustus 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI