Saya masih mengenakan mukena selepas bertadarus. Sebab hawa cenderung sejuk menusuk, saya masih enggan melepasnya. Jendela kayu usang pun belum saya buka. Rumah masih tertutup rapat. Pada dasarnya memang masih terlalu pagi. Baru sekitar setengah enam.
Tiba-tiba dari depan rumah terdengar seseorang memanggil-manggil. Spontan saya bangkit dan berlari kecil ke ruang tamu. Begitu pintu depan saya buka, tampak Bu RW yang sekaligus Ketua Takmir musala dekat rumah.
Beliau masih mengenakan mukena juga. Pasti belum pulang dari musala sejak lepas Subuh tadi. Saya membatin.
"Ini, Mbak. Paketan sayur dari musala. Kiriman dari kebun yang kita datangi dulu." Kata beliau seraya menyerahkan satu bungkusan.
"O, iya. Terima kasih, Bu." Saya menerima bungkusan tersebut sembari tersenyum. Bu RW pun berlalu bersama rak dorong yang penuh bungkusan. Pastilah akan membagikan bungkusan-bungkusan itu kepada para warga yang lain.
What a life! Pucuk dicinta ulam tiba. Saat sedang berencana belanja sayur-mayur, cari-cari yang diskon besar di pasar mana, eh malah ada kiriman gratis dari musala. Senin pun terasa lebih menyenangkan.
Akan tetapi, rupanya saya salah sangka. Karena beberapa menit kemudian ketika tersambung dengan internet, ada sesuatu yang bikin kegembiraan berkurang. Dari notifikasi HP terlihat seorang teman berkirim DM di Instagram dini hari tadi. Segera saya buka, dong.
Saya pikir dia mengirimkan informasi tentang suatu acara menarik. Biasanya begitu. Namun, ternyata kali ini yang dikirimkan postingan sebuah akun berita seputar Jogja. Yakni tentang sepasukan polisi yang mengamankan situasi di Taman Parkir Ngabean. Dia bertanya sesungguhnya ada kejadian apa.
O la la! Seketika saya cek ricek kabar terkini Yogyakarta. Ketemulah informasi bahwa selepas pertandingan PSIM Jogja versus Persib Bandung, kemarin malam timbul kericuhan di antara suporter kedua kesebelasan. Lokasi huru-hara itu di Taman Parkir Ngabean dan Malioboro. Sangat dekat dengan tempat tinggal saya saat ini.
Pantas saja tengah malam tadi seperti ada ramai-ramai di jalan raya. Saya pikir sekadar konvoi sepeda motor. Ternyata, eh, ternyata. Ribut lagi, ribut lagi. Kiranya inilah sisi lain dari dinamika dan romantika Jogja.
Syukurlah seperti biasanya, situasi segera kondusif. Kerusakan bekas kericuhan memang masih terlihat. Namun, warga sudah bisa beraktivitas normal. Seperti semalam tak terjadi apa-apa.
Luar biasa memang. Hidup di Jogja memang seseru itu. Tak selalu syahdu dan romantis sebagaimana yang kerap diimajinasikan oleh orang-orang di luaran sana.
Jika Anda berpikir bahwa suasana Jogja syahdu, itu ada benarnya. Demikian pula jika Anda membayangkan bahwa Jogja romantis, itu pun ada benarnya. Namun, jangan lupakan realita. Sesungguhnya hidup di Jogja pun ada badas-badasnya.
Suatu saat kita dibuat merasa keren. Eh, tak lama kemudian dibikin cemas. Beberapa waktu selanjutnya dibuat damai lagi. Tak berselang lama kembali disergap situasi mencekam macam perang.
Kiranya perang dan damai (dalam berbagai kadar dan takaran masing-masing) memang merupakan keseharian manusia. Kurang afdal kalau tak pernah ada kericuhan.
Mungkin bukan Jogja kalau bisa tenang-tenang saja dalam durasi lama. Iya, mungkin. Bisa jadi.
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI