Terusterang saya bukanlah seorang pembaca buku di kereta. Mengapa? Sebab selain naik KRL Jogja-Solo, saya nyaris tak pernah nyepur (istilah naik kereta api dalam bahasa Jawa). Sementara nyepur dari Jogja ke Solo atau sebaliknya, cuma satu jam. Itu pun saya seringnya berdiri selama perjalanan. Atau berdiri separo perjalanan, sisanya baru duduk.
Di lain waktu dari Jogja bisa duduk, tetapi 10 menit kemudian sudah sampai tujuan. Berarti sudah turun dari kereta api. Otomatis tidak ada kesempatan untuk membaca buku di kereta. Mungkin bagi orang lain, durasi 10 menit di perjalanan lumayan buat melahap beberapa lembar buku. Akan tetapi bagi saya, mohon maaf. Saya tidak sanggup.
Jangankan membaca buku fisik saat bepergian. Membaca e-book atau buku elektronik saja saya malas. Bahkan, buka-buka medsos pun tidak. Terlebih kalau sedang bepergian sendirian. Mengapa? Sebab takut pecah konsentrasi sehingga berpotensi ketinggalan kereta.
Begitulah adanya. Terusterang saja saat bepergian, saya lebih suka mengamati suasana dan aktivitas orang-orang daripada baca buku. Senyampang sedang di luar rumah, saya merasa lebih seru kalau berfokus pada keadaan sekitar.
Secara umum saya memang tidak terbiasa membaca buku di kereta api. Di stasiun pun saya pilih tidak membaca buku. Terlebih kalau dalam posisi sendirian menunggu keberangkatan. Alasannya itu tadi, yakni takut pecah konsentrasi.
Saya tahu dirilah. Paham dengan kondisi diri saya sendiri yang kesulitan melakukan multitasking meskipun multitasking-nya cuma antara baca buku dan menunggu kedatangan kereta/bersiap turun dari kereta.
Daripada ketinggalan kereta atau terlewat stasiun tempat turun, saya lebih pilih membaca lingkungan sekitar. Tidak membaca buku fisik atau e-book. Toh sama-sama membaca 'kan?
Apakah berarti saya tidak setuju menormalkan baca buku di kereta? Justru sebaliknya. Saya sangat mendukung upaya penormalan baca buku di tempat umum, terkhusus di kereta. Saya pun salut berat kepada orang-orang yang konsisten melakukan kebiasaan bagus tersebut.
Menurut saya, kalau makin banyak orang yang melakukannya bakalan berdampak positif. Mereka berpotensi menginspirasi khalayak. Bisa menjadi role model dalam hal kebiasaan baca buku. Tak hanya baca buku di kereta, tetapi di mana saja.
Bukankah itu hal yang keren dan berfaedah? Terlebih kalau yang menjadi role mode dari kalangan usia muda. Itu malah jauh lebih bagus.
Percayalah. Membaca buku di kereta itu sesuatu yang keren. Sebentuk perilaku berkelas. Kalau tidak keren dan tidak berkelas, mana mungkin teman saya yang sesungguhnya tidak suka membaca, sampai berakting membaca buku saat kami nyepur?
Tidak tanggung-tanggung. Buku yang dijadikan properti beraktingnya pun bukan buku sembarangan. Dia "memperalat" sebuah buku bacaan yang bertema berat. Yang dipinjamnya dari seorang teman kami yang lain lagi.
Saya garis bawahi, ya. Berakting. Iya, betul. Teman saya itu berakting. Tidak berpose dan meminta dipotret/divideokan pakai HP-nya atau HP teman-temannya. Dia sengaja berakting membaca demi memancing tanggapan publik. Yang dalam hal ini, para penumpang KRL lainnya.
Jadi sepanjang perjalanan di atas KRL dari Solo ke Jogja, dia pura-pura membaca. Tujuannya memang caper ke para penumpang. Harapannya, ada gadis pintar dan cantik yang tertarik dan minta berkenalan, kemudian tukaran nomor kontak WA. Harapan lainnya, ada penumpang yang diam-diam memotret dan memviralkan aktingnya membaca buku.
Sungguh terlalu kalau dipikir-pikir. Bisa-bisanya memperalat sebuah buku untuk sesuatu yang nganu begitu. Kok ya ide gokil nan cerdas itu sempat-sempatnya berkelebat di benaknya? Entah terinspirasi oleh siapa dia itu.
Apakah kedua harapannya terpenuhi? Ternyata terpenuhi satu, yaitu ada penumpang yang memotretnya. Hal ini diketahui saat foto teman tersebut diunggah si pemotret di medsos dan menjadi #fyp alias viral. Tentu dengan takarir yang berisi pujian; bahwa jarang ada anak muda pilih baca buku bertema berat di transportasi umum semacam kereta api.
Sontak banyak warganet melontarkan pujian ke si teman yang berakting membaca buku. Sementara dia dengan puas tertawa terbahak-bahak. Merasa menang karena misinya sukses berat. Yang memberikan pinjaman buku cuma tersenyum kecut sambil ngedumel. Adapun saya ikut tertawa-tertawa sembari berkomentar, "Selamat. Telah sukses menipu dunia kamu, ya."
Apa boleh buat? Apa yang dilakukan teman tersebut beserta efek dahsyatnya terhadap orang-orang yang tak tahu "proses di belakang layarnya" bikin saya waspada. Mau tak mau dalam menanggapi sesuatu yang WOW di medsos, saya tak langsung percaya bahwa itu alamiah.
Apakah saya menjadi skeptis jika melihat seseorang membaca buku di kereta atau transportasi publik lainnya? Sesungguhnya sih, tidak bisa disebut skeptis juga. Namun, saya memilih berwaspada tingkat tinggi. Tidak mau langsung kagum dan menyampaikan pujian. Sebab jangan-jangan, kasusnya sebelas dua belas dengan teman yang berakting membaca buku itu.
Demikian opini saya untuk Even Click Clickompasiana dalam rangka Event Hardiknas Click. Semoga dapat menginspirasi. Plus membuat Anda tahu mengenai fakta unik di balik "pemandangan" seseorang yang sedang membaca buku di kereta.
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI