Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Administrasi - Kerja di dunia penerbitan dan dunia lain yang terkait dengan aktivitas tulis-menulis

Founder #purapurajogging

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Kepingan-kepingan Memori Naik Kereta Api di Benak Saya

28 September 2022   23:58 Diperbarui: 7 Oktober 2022   11:00 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun suka sekali naik kereta api, saya bukanlah pengguna setianya. Biasalah. Hidup 'kan memang begitu. Kita suka apa, sering dapatnya malah apa.

Dalam konteks ini, saya yang suka kereta api malah lebih kerap bepergian ke tempat-tempat yang tak dilewati kereta api. Karena ketiadaan rute, untuk mudik pun saya tak bisa mempergunakan moda transportasi favorit itu.

Akan tetapi, pengalaman saya menaikinya dapat dikategorikan komplet. Istilahnya, bisa dikatakan cukup mewakili dinamika dunia perkeretaapian Indonesia. Widih! Gayanyaaa. Hehehe....

Namun itu fakta, ya. Saya 'kan tergolong sebagai generasi perbatasan, yang menjadi saksi perubahan wajah KAI, dari kurang menyenangkan menjadi menyenangkan sekali seperti sekarang.

Romantika Berdesakan Tiada Tara

Sudah pasti saya pernah merasakan naik kereta api dalam situasi desak-desakan tak karuan. Walaupun de jure punya tiket dan duduk di kursi, tetap saja kurang nyaman sebab para penumpang yang berdiri demikian berjubel.

Sampai-sampai hendak bersandar maksimal ke kursi sendiri pun susah. Plus sungkan karena orang yang berdiri di samping saya ternyata menggelendot manja pada sebagian sandaran kursi itu. Anda bayangkanlah sendiri bagaimana posenya dan pose saya.

Saya juga pernah berdiri berimpitan sejak dari Klaten hingga Purwokerto. Kebetulan posisi saya persis di tengah-tengah lorong. Jadi, tidak bisa berpegangan kursi penumpang.

Anda perlu tahu betapa sengsaranya saya yang mungil ini berada di posisi tersebut. Kalau orang lain bisa berpegangan atap gerbong, saya mana bisa? Alhasil, punggung mas-mas sebelah terpaksa menjadi "korban". Tentu setelahnya terpaksa saling sapa, dong.

Sampai di Stasiun Purwokerto sebagian penumpang turun. Suasana gerbong menjadi agak lega. Namun, saya tak berhasil mendapatkan kursi kosong warisan penumpang yang turun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun