Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Administrasi - Kerja di dunia penerbitan dan dunia lain yang terkait dengan aktivitas tulis-menulis

Founder #purapurajogging

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Berpikir Positif untuk Mengatasi Kecemasan, tetapi Jangan Naif

29 Juli 2021   08:36 Diperbarui: 29 Juli 2021   08:58 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Semula saya merasa bakalan sanggup selalu baik-baik saja dalam menghadapi pandemi yang berkepanjangan ini. Dengan alasan, telah terbiasa berpikir positif untuk mengatasi kecemasan terhadap apa pun. Faktanya, kebiasaan berpikir positif untuk mengatasi kecemasan itu sempat goyah terhantam kabar duka yang bertubi-tubi.

Apa hendak dikata? Semula saya terlalu percaya diri gara-gara mengelola personal blog bernama PIKIRAN POSITIF. Plus banyak menulis tentang khasiat pikiran positif yang telah terpraktikkan dalam hidup keseharian.

Akan tetapi, kondisi mental saya rupanya tak setangguh yang saya kira. Atau bisa jadi, setangguh-tangguhnya mental tetap punya celah waktu untuk oleng jika "badai" yang menerpa terlalu bertubi-tubi, tanpa jeda sedikit pun.

Demikianlah adanya. Badai yang berupa rentetan kabar tak menyenangkan memang sempat membuat diri ini limbung. Sekitar tiga minggu lalu. Bersamaan dengan melemahnya daya tahan tubuh walaupun tidak lemah-lemah amat.

Rupanya saya tercekam oleh situasi. Menjadi overthinking dengan kondisi kesehatan diri. Alhasil, rupa-rupa rasa tak nyaman singgah di badan. Demam yang tipis-tipis pun lumayan betah singgah. Entah benar atau hanya "halu", ulu hati ikut terasa agak nyeri. Mungkin psikosomatis.

Entahlah apa penyebab pastinya. Bisa jadi karena terlalu seringnya kabar-kabar tak menyenangkan berdatangan. Sebagian melalui Facebook, sebagian melalui beberapa WAG. Bahkan, sebagian yang lainnya menyeruak langsung tepat di depan hidung.

Bayangkan saja kalau membuka-buka akun Facebook dan yang lewat di linimasa adalah deretan kabar kawan yang sakit dan berpulang. Lalu, ada satu kabar yang bikin syok. Seorang kenalan curhat di akun Facebook bahwa ia sedang tidak baik-baik saja sebab dalam suatu WAG, hanya dirinya yang saat ini masih hidup. Meskipun total anggota WAG hanya empat, tetap saja itu mencekam baginya.   

Bayangkan pula jika dalam WAG kampung hanya ada informasi-informasi lelayu dan daftar nama yang sedang isoman. Bersamaan dengan itu, raungan sirine ambulance pun terlalu sering membelah ketenangan kota.

Demi ketenangan diri, konsumsi Facebook bisa dibatasi atau malah dihentikan dulu. Akan tetapi, tak mungkin WAG (terkhusus WAG kampung dan keluarga) diabaikan. Bagaimanapun kita butuh tahu kabar para tetangga 'kan?

Saya memang tidak sampai susah makan susah tidur. Masih sanggup juga bercanda ria dengan anak dan kawan-kawan di dunia maya. Postingan yang terunggah di akun medsos pun tetap steril dari keluhan dan kemarahan. Hanya saja, berada dalam posisi antara sehat dan tak sehat lama-kelamaan amat mengganggu. Saya menjadi takut pergi ke toko, padahal stok bahan makanan dan vitamin menipis.

Puncak dari keolengan pikiran positif saya terjadi ketika dalam kurun waktu 2 hari ada 3 tetangga meninggal dunia. Yang dua meninggal di RS, yang satu di rumah. Namun, semua dimakamkan dengan protokol Covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun