Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Administrasi - Kerja di dunia penerbitan dan dunia lain yang terkait dengan aktivitas tulis-menulis

Founder #purapurajogging

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Hikmah Pandemi: Mengenal Para Kompasianer Lain Melalui Pak Tjip-Bu Lina

13 Juli 2021   17:27 Diperbarui: 13 Juli 2021   18:59 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakan sampul depan (Dokpri)

Pandemi corona ini sungguh-sungguh bikin saya yang terbiasa di rumah saja menjadi kian terbiasa di rumah saja. Namun seterbiasa-biasanya di rumah saja, pastilah sekali waktu saya ingin main-main di luar rumah juga. Yeah?!! Pandemi corona memang enggak asyik. Walaupun ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari situasi pandemi tersebut, secara umum tetap layak dilabeli enggak asyik.

Itulah sebabnya saya kemudian memaklumi kalau banyak orang beranjak depresi dalam menjalani hari-hari semasa pandemi. Bagaimana, ya? Mencari hikmah dari sebuah peristiwa tak menyenangkan memang relatif susah. Terlebih jika rasa syukur telah tergerus atau tercecer entah di mana.

Beruntunglah saya punya lingkungan yang baik. Lingkungan yang tidak kondusif bagi orang-orang yang maunya mengeluh terus. Alhasil, saya sanggup memunguti lagi rasa syukur yang sempat sedikit tercecer.

Terlepas dari sisi enggak asyiknya (setelah radar penangkap rasa syukur saya perkuat dan perlebar), ternyata tetap ada sisi baik yang dapat diambil dari situasi pandemi. Sisi baik tersebut ada yang bersifat umum, ada pula yang bersifat personal. Salah satu sisi baik yang saya rasakan adalah kembali ingat pada Kompasiana.

Saya memang tak pernah sampai lupa kalau diri ini seorang Kompasianer. Status keanggotaan di WAG K-Jog dan K+250 bagaimanapun selalu menjaga ingatan akan hal itu. Hanya saja, saya nyaris tak pernah mengunggah tulisan. Kalau main ke laman kesayangan kita ini ya sekadar baca-baca. Tanpa respons. Tanpa komentar.   

Sebenarnya sih, aktif menulis di Kompasiana tetap masuk ke dalam daftar rencana kegiatan. Sayang sekali tak kunjung beranjak action. Rasanya selalu ada alibi sibuk untuk menunda action. Hingga akhirnya, eksistensi virus corona menggila.


Tagar stay at home alias di rumah saja memberikan banyak kesempatan untuk merenung, berpikir, membaca, dan .... Mengeksekusi sebuah ide menjadi sebentuk tulisan untuk diunggah di Kompasiana!

Setelah sekian waktu sekadar berwacana untuk aktif sebagai Kompasianer, kurang lebih dua bulan sebelum tahun berganti, saya akhirnya berhasil mengunggah tulisan juga. Disusul beberapa tulisan lain.

Demikianlah adanya. Saya memang Kompasianer lama rasa baru. Malah cenderung beneran baru karena merasa asing dengan nama-nama Kompasianer yang eksis. Satu dua nama saja yang terekam dalam ingatan sebagai Kompasianer lama. Salah satunya Pak Tjip. Bu Lina malah tidak ingat sebab tampaknya, saya nonaktif ketika beliau mulai aktif.

Hari demi hari berlalu. Pandemi masih berjalan. Tahu-tahu sampai di penghujung 2020. Januari 2021 pun tiba. Hari pertama habis, disusul hari kedua, dan seterusnya. Entah kapan tepatnya di antara hari-hari itu, saya menerima pesan WA dari Pak Ikhwanul Halim. Isinya informasi mengenai penerbitan buku 150 Kompasianer Menulis, dalam rangka merayakan ultah ke-56 pernikahan Pak Tjip-Bu Lina.

Singkat cerita, buku tersebut terbit dan satu eksemplar telah sukses mendarat di tangan saya. Wow! Ternyata besar dan tebal. Menjadi buku bukti terbit terbesar yang pernah saya terima. Buku yang disemati judul 150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi itu memuat lebih dari 150 tulisan.

Tentu butuh waktu lumayan lama untuk membacanya hingga tuntas. Saya pun menuntaskannya dengan taktik ngemil baca. Begitu ada waktu luang saya baca dua atau tiga tulisan. Lama-lama kelar juga (Halooo para kontributor tulisan, ada yang belum membacanyakah? Hehehe ....).

Usai menyimak tulisan demi tulisan saya menyadari sesuatu. Buku 150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi ternyata sangat membantu saya mengenali para Kompasianer. Terlebih yang termasuk ke dalam jajaran Kompasianer baru. Maksudnya yang mulai aktif ketika saya nonaktif dan saat saya kembali aktif, mereka sudah ngeksis sekali.

Ada Pak Ludiro Madu yang kemudian saya sadari bahwa kami sama-sama berada di satu grup Telegram. Ada Mbak Wahyu Sapta yang tulisannya di Kompasiana justru baru saya baca belakangan. Ada sosok guru muda Ozy yang identik dengan kejomloan, padahal guru biasanya identik dengan Oemar Bakrie. Ada Mbak Ayra Amirah yang uniknya baru saya baca tulisannya di Kompasiana setelah beliau berkomentar di salah satu postingan Instagram saya. Dan sebagainya.

Selain menjadi tahu nama dan wajah (mohon maaf, saya memang cenderung mengabaikan foto profil yang tersemat di akun Kompasiana para Kompasianer), saya juga menjadi tahu asal daerah beberapa Kompasianer.

Saya juga suka mengamati nama, baik nama pena maupun nama asli. Terkhusus nama yang mengandung kekhasan daerah atau agama tertentu. Mengapa? Sebab nama-nama tersebut unik sekaligus menyadarkan bahwa Indonesia itu luas dan majemuk. Sungguh menarik. Iya. Saya memang hobi mengamati nama orang.

Dari beberapa tulisan saya menjadi paham pencapaian Pak Tjip dan istri di Kompasiana. Dari "testimoni" para Kompasianer yang pernah berjumpa langsung, saya jadi tahu karakter asli beliau berdua. Demikian pula, saya menjadi tahu bahwa Bu Lina mempunyai daftar nama para Kompasianer. Warbyasak!  

Syukurlah saya bisa ikut berkontribusi di 150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi. Jadi, saya bisa tahu/mengenal lebih dekat siapa saja kawan-kawan nongkrong di Kompasiana. Semoga bisa makin sayang kepada mereka. Anda sekalian. Bukankah tak kenal maka tak sayang?

Terima kasih banyak, Pak Tjip, Bu Lina. Panjenengan berdua telah memfasilitasi kami untuk lebih saling mengenal.   

***

Saya juga bersyukur, sejauh ini masih dapat dilabeli sebagai Kompasianer aktif (setelah tidur panjang). Minimal tulisan ini dapat dijadikan bukti. Iya 'kan? Hehehe .... Semoga saya konsisten hingga nanti, nanti, dan nanti. Jadi, label Kompasianer yang melekat pada diri ini tak sekadar label kosong.

Salam.

Penampakan sampul belakang (Dokpri)
Penampakan sampul belakang (Dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun