"Tolong jawab jujur, Fau! Emang, Fau, ada niat apa mengajak Aa ziarah ke Banten?"
Pewe melihat ke arah mata Teje yang penuh dengan keseriusan.
"Oke, bakal Fau kasih tahu. Tapi A jangan marah, ya." pinta Pewe memelas.
"Iya, A ga akan marah, asal Fau jujur."
"Hmmm, Fau mau dinikahkan, A. Tapi Fau tidak mau." mata Pewe tidak sanggup melihat wajah Teje, ia hanya tertunduk sedih.
'Dug! Jleb!' dada Teje serasa dipukul palu godam. Namun harus tetap bersabar, hingga jelas persoalannya.
"Trus...?" Teje semakin penasaran.
"Maaf, Fau tidak bisa menolak keinginan, bapak. Fau tetap harus menikah." tangan Fau memegang jemari tangan Teje. Nampak Teje menahan napas berat, dan mengeluarkannya dengan hawa panas. Teje sadar, dia sekarang bukan siapa-siapa Pewe lagi. Dia tidak berhak melarang-larang. Bukankah menikah itu baik?
"Ya sudah, ikuti saja mau bapakmu itu, Fau. A turut bahagia." Teje menjawab dengan nada berat, tapi hanya itu pilihan terbaik bagi Pewe.
"Benar, A tidak marah? Terima kasih ya, A." raut wajah Pewe kembali cerah.
"Terus, apa tujuan Fau ngajak ziarah ke Banten segala?" tanya Teje lagi.