Mohon tunggu...
Agus Netral
Agus Netral Mohon Tunggu... Administrasi - Kemajuan berasal dari ide dan gagasan

Peneliti pada YP2SD - NTB. Menulis isu kependudukan, kemiskinan, pengangguran, pariwisata dan budaya. Menyelesaikan studi di Fak. Ekonomi, Study Pembangunan Uni. Mataram HP; 081 918 401 900 https://www.kompasiana.com/agusnetral6407

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memperkuat Lini Lapangan dalam Pencegahan Perkawinan Anak

8 Oktober 2020   10:28 Diperbarui: 13 Oktober 2020   04:21 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: Kampanye Stop Perkawinan Anak.(ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra via KOMPAS.com)

Seperti yang dikemukakan diatas pemerintah berhasil mewujudkan revisi UU Perkawinan yang lama yaitu UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2019. Dengan UU perkawinan yang baru, batas minimal untuk pernikahan dinaikkan dari 16 tahun menjadi 19 tahun untuk perempuan. Sedangkan laki-laki masih tetap 19 tahun.

Disatu sisi ini merupakan sebuah prestasi karena sudah lama diusulkan untuk ditingkatkan, tetapi disisi lainnya ini adalah tantangan yang justru semakin sulit. Yang umur 16 tahun saja batasnya, begitu banyaknya angka pelanggaran, apalagi dinaikkan ke angka 19 tahun.

“Semakin sulit, dengan peningkatan batas umur ini. Di tempat saya setelah Lebaran yang lalu cuma 2 pasangan pengantin yang berhasil nikah dengan umur 19 tahun. Sementara selebihnya menikah dini. Dan yang nikah dini tidak terdata di KUA. Sebagai Kadus disini juga kita dilematis mau diurus mereka melanggar aturan, tidak diurus kita sebagai pengayom masyarakat”, jelas seorang Kadus yang kebetulan diwawancarai.

Hal itu juga nyambung dengan data di tingkat kecamatan, dimana Bapak Kepala KUA-nya mengatakan selama semester pertama tahun 2020, terjadi penurunan jumlah perkawinan sampai sekitar 50% dibanding tahun lalu. Dan ini katanya bukan karena data perkawinan berkurang tapi semakin banyaknya yang nikah dini.

Kurangnya komitmen Pemerintah Desa

Sebenarnya, pencegahan pernikahan dini ini kalau terus didengungkan utamanya di tingkat desa dan dusun, maka masyarakat akan bisa ingat dan awas untuk berusaha menghindarinya. Akan tetapi faktanya ini yang tidak dilakukan oleh banyak pemerintah desa. Usulan sosialisasi ataupun penyuluhan pendewasaan usia perkawinan yang biayanya cuma sekitar 1 juta sering ditolak, padahal anggaran desa ada yang mencapai lebih dari 2 milyar.

Dalam proses perencanaan anggaran di desa, disini kesannya pelaksanaan musrenbangdes tidak ada maknanya, dimana keinginan Kades yang mendominasi.

Tidak berdayanya pemerintah kecamatan

Seharusnya pemerintah kecamatan bisa mengkoordinir desa-desa di wilayahnya dalam pencegahan perkawinan anak melalui Kasi Kesra. Akan tetapi ternyata kecamatan tidak bisa bergerak, karena tidak ada dukungan penganggaran.

“Anggaran yang ada di kecamatan itu cuma untuk biaya gaji dan operasional yaitu untuk air, listrik serta pemeliharaan gedung. Untuk anggaran masing-masing Seksi sama sekali tidak ada. Memang sih ada biaya perjalanan ke desa yaitu subsidi minyak untuk sepeda motor sebanyak 2 liter setiap minggu”, kata Kasi Kesra di Kecamatan Terara kabupaten Lombok Timur yang kebetulan diwawancarai.

Seharusnya Seksi Kesra yang mengkoordinir tugas pencegahan perkawinan dini di wilayah kecamatannya. Tetapi karena tidak ada pembiayaan maka tentu tidak ada program dan kegiatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun