"Menjadi bapak rumah tangga itu seperti apa rasanya?"
Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi jawabannya bisa sangat luas tergantung pada bagaimana sebuah pasangan memaknai rumah tangga dan kesetaraan.
Bagi sebagian orang, menjadi bapak rumah tangga masih dianggap aneh, bahkan tabu. Tapi bagi sebagian lain, ini justru menjadi bukti kedewasaan sebuah hubungan. Karena sesungguhnya, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, selama keduanya berjalan di jalur yang sama: saling mendukung untuk maju.
Ketika Pekerjaan Menjadi Pilihan, Bukan Pertarungan
Seorang saudara saya pernah berada di persimpangan hidup. Pekerjaannya cukup mapan, tapi menuntut ia tinggal jauh dari keluarga. Sementara, istrinya mulai merintis usaha kecil di rumah menjual busana hasil rancangan sendiri.
Sang istri sebenarnya tidak ingin suaminya pergi jauh, namun juga tak ingin menghalangi kariernya.
Mereka lalu berbicara panjang, menimbang dengan hati, bukan ego.
Hingga akhirnya sang suami memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya dan memilih membantu sang istri mengembangkan usaha.
Keputusan itu tentu tidak mudah. Ada keraguan, ada komentar dari keluarga besar, bahkan ada bisik-bisik dari tetangga: "Masa laki-laki di rumah saja?"
Tapi mereka tetap teguh dengan keputusan itu karena mereka tahu, yang sedang mereka perjuangkan bukan soal siapa bekerja di luar dan siapa tinggal di rumah, melainkan bagaimana keluarga mereka tetap utuh dan bahagia.
Saat Dukungan Berbuah Keberhasilan
Awalnya usaha mereka berjalan biasa-biasa saja. Namun karena dikerjakan berdua, perlahan mulai tumbuh.
Sang istri fokus pada desain dan pelanggan, sementara suaminya mengurus hal-hal teknis: pembelian bahan, pengiriman, hingga promosi daring.
Siapa sangka, usaha itu justru melejit setelah mereka bersatu dalam peran.
Kini, penghasilan mereka bahkan jauh melampaui gaji suaminya dulu. Tapi yang lebih berharga dari semua itu adalah rasa kebersamaan yang tumbuh di antara mereka.