Sudah jadi rahasia umum dua bulan sebelum lebaran tiba, pasar-pasar tradisional dan supermarket mulai ramai oleh ibu-ibu dengan senjata andalan daftar belanja sepanjang lengan dan tekad baja. Sempat diwarnai kelangkaan tabung gas melon, kini masalahnya sudah membaik.
Tak terbayang jika hal ini berlarut, padahal udara bulan puasa mulai tercium dengan segala keriuhan ikonik dalam rangka persiapan memasuki bulan puasa. Meski bulan puasa masih satu setengah bulan kedepan, tapi semangat kita seolah sudah berada di hari H lebaran.
Semua ini senada dengan keterangan yang mengungkapkan bahwa barang siapa yang merindukan bulan Ramadhan, maka diharamkan atas dirinya api neraka. Lalu apa saja hal yang menjadi sorotan? Tentu saja segala sesuatu yang berkaitan dengan belanja kebutuhan.
Sayangnya hal ini juga sering diiringi dengan melonjaknya harga-harga bahan pokok, seperti yang tergambar dari percakapan seorang ibu di pasar berikut: "Bu, berasnya naik lagi ya?" tanya seorang ibu pada penjual beras dengan nada setengah mengeluh. "Iya Bu. Makin dekat lebaran, makin naik. Sekarang beli aja, nanti malah lebih mahal," jawab si penjual sambil tersenyum kecut.
Ini baru awal, tapi drama kenaikan harga sudah mulai terasa. Sepertinya, ibu-ibu ini punya radar khusus untuk memprediksi kapan harga akan melambung tinggi. Mereka tahu persis kapan harus menyerbu pasar dan membeli bahan-bahan pokok sebelum harganya naik dua kali lipat.
Tak jauh dari situ, seorang ibu lain sedang sibuk membandingkan harga minyak goreng di dua kios berbeda. Matanya tajam dengan kalkulator di tangan, dan wajahnya penuh konsentrasi. "Ini lebih murah lima ratus perak, tapi kualitasnya sama," gumamnya pelan. Ibu-ibu memang berada digaris depan dalam bernegosiasi harga, dan memang begitulah seharusnya.
Selain ibu-ibu, para penjual di pasar pun tampak bersiap menghadapi gelombang pembeli. Stok barang diperbanyak, promo-promo kecil mulai digencarkan, dan senyum mereka seolah berkata, "Ayo, belanja sekarang sebelum harga naik!"
Saya pun teringat pada ibu saya dulu. Setiap menjelang lebaran, beliau punya cara tersendiri dalam membuat daftar belanja panjang, menghitung budget dengan cermat, dan berburu diskon di mana-mana. "Puji syukur usia kita sampai bulan puasa tahun ini, belum tentu tahun depan kita masih punya umur, Nak!. Jadi, harus spesial," katanya selalu, dan di balik semangatnya ada usaha keras untuk mengatur keuangan agar semuanya tetap terjangkau.
Jika melihat tren dari tahun ke tahun, kenaikan harga menjelang lebaran sebenarnya bukan sekadar kebetulan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), harga bahan pokok seperti beras, gula, dan minyak goreng selalu mengalami lonjakan menjelang hari raya. Fenomena ini dipicu oleh peningkatan permintaan yang drastis, sementara pasokan di beberapa daerah tidak selalu stabil.
Menariknya, pola belanja masyarakat pun mulai berubah. Jika dulu ibu-ibu lebih sering berdesakan di pasar tradisional, kini banyak yang beralih ke platform online untuk mencari diskon atau membeli dalam jumlah besar sebelum harga naik. Marketplace dan e-commerce pun turut memainkan peran penting dengan menawarkan promo khusus Ramadan dan Lebaran untuk menarik pelanggan.
Di tengah kegaduhan pasar, ada satu hal yang selalu membuat saya tersenyum, yaitu semangat kebersamaan. Ibu-ibu yang saling berbagi info tentang harga murah, tetangga yang saling pinjam alat masak, atau teman-teman yang berbagi resep kue lebaran. Semua ini, turut mewarnai bagaimana kita saling membantu dan berbagi kebahagiaan hingga lebaran tiba.