Engkau, dan sebuah Kepergian, adalah kidung yang terukir di pembuluh nadi,
Bukan melodi manis yang diukir biola merdu, melainkan getar pahit yang diam-diam disuguhkan oleh Cinta itu sendiri.
Sebuah cawan yang penuh dengan sari duka, namun anehnya, hati ini menerima,
Menelannya utuh, bukan sebagai racun yang membinasakan, melainkan eliksir yang mendewasakan.
Sebuah janji sunyi bahwa retak adalah cetakan baru, bukan akhir.
Saat bumi membalikkan punggungnya pada mentari,
Aku berdiri tegak di ambang jendela gelap malam,
Mata yang seharusnya mencari bintang penuntun, kini justru menerangi langit dengan pantulan rasa pahit hidup ini.
Bukan cahaya bulan, bukan gugusan Andromeda,
Melainkan bara sisa dari api yang pernah membakar kita, rasa yang masih utuh kumiliki.
Ia menjadi mercusuar yang takkan pernah padam di lautan ingatan.