Hidup tidak pernah sekadar garis lurus dari lahir hingga mati, melainkan ruang belajar tanpa akhir yang terus menuntut manusia untuk jatuh, bangkit, dan menemukan dirinya kembali.Â
Sejak langkah pertama hingga hembusan napas terakhir, manusia selalu dihadapkan pada siklus pembelajaran yang tak pernah berhenti: kita mencoba, kita gagal, kita mengoreksi, lalu kita tumbuh. Inilah hakikat hidup yang oleh filsuf Stoik, Seneca, digambarkan sebagai seni yang tak bisa dipelajari lewat teori semata, tetapi lahir dari penghayatan sehari-hari.Â
Namun, dalam mentalitas modern yang dibentuk oleh logika kecepatan, kita kerap tergoda mencari "jalan pintas." Hidup dipersempit menjadi formula instan: resep sukses cepat, rahasia kaya dalam semalam, atau trik motivasi yang menjanjikan hasil tanpa proses.Â
Padahal, sebagaimana diajarkan Seneca, kehidupan justru menuntut kesabaran, keberanian untuk gagal, serta kesediaan untuk belajar dari luka.Â
Ironisnya, di era digital, manusia semakin kehilangan daya untuk bersabar. Kita ingin semua hal datang segera: pengakuan, pencapaian, bahkan kebahagiaan. Dalam pusaran inilah seni hidup menjadi kabur, seolah hidup hanyalah perlombaan menuju target, bukan perjalanan menemukan makna.Â
Oleh karena itu, jika hidup adalah ruang belajar, maka yang terpenting bukanlah seberapa cepat kita sampai, melainkan seberapa dalam kita memahami setiap langkah. Hidup tidak menuntut kesempurnaan, tetapi keikhlasan untuk belajar dari setiap kejadian.Â
Pada titik inilah, kita diajak untuk menata ulang cara pandang: berhenti menuntut kepastian instan, dan mulai berani menikmati proses yang lambat namun penuh makna.
Salah satu kesalahan terbesar manusia adalah merasa sudah menguasai seni hidup hanya karena usia bertambah atau karier tampak stabil. Seolah pengalaman masa lalu menjadikan seseorang otomatis "ahli kehidupan."Â
Padahal, sebagaimana diingatkan Al-Farabi, filsuf besar Islam, hidup manusia adalah jalan menuju kesempurnaan jiwa dan jalan itu tidak pernah benar-benar selesai.Â
Ibnu Sina pun menegaskan bahwa akal manusia selalu berkembang seiring perjumpaan dengan realitas baru. Artinya, setiap tahap kehidupan justru membuka bab yang berbeda, yang tidak bisa dijawab hanya dengan bekal pengalaman masa lalu. Realitas kontemporer membuktikan betapa rapuhnya ilusi itu.Â