Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Saat Hidup Menjadi Guru dan Kita Tidak Pernah Benar-Benar Lulus

23 September 2025   18:01 Diperbarui: 25 September 2025   10:08 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Ilmu pengetahuan tanpa kebijaksanaan ibarat pedang tajam di tangan orang yang tidak bertanggung jawab; ia sangat mudah berujung pada kesombongan intelektual. Kebijaksanaan sesungguhnya lahir dari sebuah kesadaran mendalam bahwa proses belajar manusia tidak akan pernah usai. Pengetahuan yang kita miliki hanyalah setetes air di tengah samudra yang tak terbatas. 

Pemikiran ini selaras dengan pandangan filosof-teolog terkemuka, Imam Al-Ghazali, yang menulis bahwa ilmu yang tidak memperhalus jiwa justru bisa menambah kesombongan dan kekeringan batin. 

Hal ini sangat relevan dengan era digital saat ini, di mana akses informasi melimpah, namun banyak orang yang menjadikan pengetahuan sekadar alat untuk pamer atau validasi ego di media sosial. 

Mereka mengoleksi fakta dan teori, namun gagal menginternalisasi maknanya untuk pertumbuhan diri. Padahal, tujuan akhir dari ilmu adalah kebermanfaatan. Rasulullah SAW menegaskan, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain" (HR. Ahmad). 

Hadis ini mengajarkan kita bahwa ilmu yang sejati bukanlah untuk meninggikan diri, melainkan untuk melayani dan memberi manfaat bagi sesama. Kebijaksanaan hadir ketika pengetahuan dipadukan dengan kerendahan hati dan kasih sayang. Proses ini mengubah informasi menjadi pemahaman, dan pemahaman menjadi tindakan nyata yang membawa kebaikan. 

Seseorang yang bijaksana tidak hanya tahu banyak, tetapi juga tahu bagaimana menggunakan pengetahuannya secara etis dan empatik. Mereka memahami bahwa kekuatan intelektual seharusnya digunakan untuk memberdayakan orang lain, bukan untuk mendominasi atau merendahkan.

Kehidupan sering kali dimaknai sebagai perjalanan linear, sebuah lintasan dari titik A ke titik B, dengan tujuan akhir mencapai kesuksesan, kekayaan, atau pengakuan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, kehidupan adalah sekolah tanpa akhir, dan kita para manusia adalah murid abadi yang tidak akan pernah lulus sepenuhnya. Setiap kehilangan yang mengiris hati, setiap kegagalan yang meruntuhkan ego, dan setiap luka yang menggores jiwa, sejatinya adalah materi pelajaran yang disusun oleh Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Tugas kita bukanlah menghindari materi-materi berat ini, melainkan menelaah dan belajar darinya. Sayangnya kita sering kali berambisi untuk menguasai kehidupan, untuk memegang kendali penuh atas setiap skenario. Padahal, kebijaksanaan sejati justru terletak pada kemampuan untuk bersabar dalam ketidakpastian. Filosof Stoik, Seneca, menawarkan pandangan yang selaras dengan pesan ini: hidup bukan tentang menunggu badai reda, melainkan tentang belajar menari di tengah badai. Pandangan ini bukan berarti pasrah tanpa daya, melainkan sebuah penerimaan aktif bahwa kita tidak bisa mengendalikan takdir, tetapi kita bisa mengendalikan bagaimana kita meresponsnya.

Dan ironisnya, di era di mana informasi begitu melimpah, kita sering kali menumpuk ilmu demi kebanggaan intelektual. Pengetahuan diolah menjadi komoditas, sebuah alat untuk memamerkan kecerdasan di media sosial. Padahal, ilmu sejati adalah ilmu yang digunakan untuk melayani sesama. Konsep ini diperkuat oleh hadis Rasulullah SAW, "Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga" (HR. Muslim). Ilmu yang dimaksud di sini bukanlah sekadar pengetahuan tekstual yang tertera di buku, melainkan kebijaksanaan hidup yang lahir dari pengalaman pahit, luka, dan kerendahan hati. Sejatinya setiap helaan napas adalah sebuah kesempatan untuk terus belajar: bagaimana mencintai tanpa syarat, bagaimana berani mengambil risiko, bagaimana hidup sederhana di tengah gempuran materialisme, dan bagaimana ikhlas menerima segala ketetapan. Kesalahan adalah guru, bukan aib. Kesabaran adalah sahabat yang menemani di setiap langkah. Dan ikhlas adalah jalan pulang yang membawa kita kembali kepada fitrah. Akhirnya, kita harus berani mengakui dengan rendah hati bahwa tidak ada dari kita yang benar-benar tahu "cara hidup" yang sempurna. Kita hanya bisa memilih untuk terus belajar setiap hari. Sebab, hidup adalah amanah, sebuah misi untuk terus belajar dan tumbuh hingga tiba waktunya kita kembali kepada-Nya dengan hati yang tenang dan jiwa yang telah dilapangkan serta dilembutkan, aamiin.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun