Kesalahan sering kali dipandang sebagai aib yang memalukan, sesuatu yang harus dihindari dengan segala cara. Padahal, jika kita mau merenung, kesalahan adalah guru yang jauh lebih setia dan jujur daripada kemenangan.Â
Setiap kegagalan adalah cermin yang membongkar keterbatasan kita, memaksa kita untuk introspeksi, dan pada akhirnya menumbuhkan kebijaksanaan. Ia mengajarkan kerendahan hati dan pemahaman yang mendalam, hal-hal yang sering kali luput dalam euforia kemenangan.Â
Sayangnya, budaya digital saat ini justru memperparah ketakutan terhadap kesalahan. Media sosial menciptakan lingkungan di mana satu kesalahan bisa viral dan memicu budaya "cancel" yang kejam, menghukum seseorang tanpa memberi ruang untuk memperbaiki diri atau belajar.Â
Akibatnya, generasi yang tumbuh dalam iklim ini terjebak dalam ilusi bahwa mereka harus selalu benar, sehingga menghalangi mereka untuk berani mencoba hal baru. Padahal, sejarah membuktikan bahwa kesalahan adalah bagian tak terhindarkan dari proses menuju kebijaksanaan. Para ilmuwan besar melakukan ribuan percobaan yang gagal sebelum menemukan penemuan yang revolusioner.Â
Para pemikir dan filsuf mengubah pandangan mereka setelah menyadari kekeliruan sebelumnya. Bahkan dalam tradisi Islam, Rasulullah SAW bersabda, "Setiap anak Adam banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat salah adalah yang banyak bertaubat" (HR. Tirmidzi).Â
Sabda dari manusia yang mulia ini menegaskan bahwa fitrah manusia adalah tidak sempurna. Kesalahan bukanlah akhir segalanya, melainkan kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar. Kesalahan yang disadari dan diperbaiki justru dapat memperhalus jiwa, membersihkan hati, dan mematangkan kita sebagai manusia.
Kehidupan dapat dianalogikan sebagai sebuah institusi pendidikan yang unik, sekolah tanpa ijazah akhir. Setiap hari adalah kelas terbuka, di mana pengalaman berfungsi sebagai kurikulum dan guru yang paling autentik.Â
Pembelajaran tidak hanya terjadi di dalam ruang-ruang formal, melainkan juga dalam interaksi paling sepele sekalipun seperti saat kita tersenyum tulus kepada orang asing, atau saat kita menyimak dengan empati kisah hidup orang lain. Jika kita peka, momen-momen ini dapat menjadi sumber pengetahuan batin yang tak ternilai.Â
Pertumbuhan batiniah, atau kebijaksanaan praktis (phronesis), bukanlah hasil dari kemenangan-kemenangan besar yang gemilang, tetapi merupakan produk dari latihan berkelanjutan. Ini adalah sebuah proses yang menuntut kita untuk belajar mencintai tanpa pamrih, memiliki keberanian untuk mengambil risiko yang terukur, hidup sederhana dalam keinginan, dan secara tulus menerima takdir yang tidak bisa kita ubah. Ironisnya, sistem pendidikan modern seringkali luput dari dimensi kemanusiaan ini.Â
Fokus yang terlalu berlebihan pada penguasaan keterampilan teknis dan kognitif (kompetensi) membuat kita mahir dalam bidang profesional, tetapi seringkali miskin dalam kebijaksanaan.Â
Kita mungkin berhasil menciptakan para ahli yang cerdas dan produktif, namun kita gagal membentuk individu yang bijaksana, yang mampu berempati, dan memiliki pemahaman mendalam tentang hakikat kehidupan. Padahal, tujuan akhir dari pendidikan bukanlah sekadar melahirkan insan yang "pintar," melainkan juga insan yang "bijak" dan berkesadanan.