Kecanggihan teknologi memang menggoda. Tetapi euforia digital tidak boleh membutakan kita dari kenyataan: pendidikan tanpa ruh kemanusiaan akan melahirkan generasi robot yang kehilangan makna. Guru adalah ruh itu. Pemerintah perlu berhenti terjebak pada kebijakan instan yang hanya menonjolkan aspek infrastruktur digital. Investasi yang paling penting adalah pada manusia: meningkatkan kompetensi guru, memperbaiki kesejahteraan mereka, dan menumbuhkan budaya apresiasi yang berkelanjutan. Orang tua juga harus menyadari, pendidikan utama dimulai dari rumah. Teknologi boleh dipakai, tetapi teladan dan bimbingan tetap harus hadir. Masyarakat pun mesti ikut menjaga agar ruang sosial tetap sehat, di mana integritas lebih dihargai daripada sekadar prestasi akademik.
Pada akhirnya, kita harus mengakui bahwa teknologi hanyalah pelengkap. Komputer, aplikasi, atau platform digital bisa mempermudah akses pengetahuan, tetapi tidak pernah bisa menggantikan ruh pendidikan yaitu guru. Hanya guru yang mampu mengubah angka-angka di layar menjadi kisah yang hidup di hati murid. Hanya guru yang bisa menyalakan semangat, mengajarkan makna, dan menuntun manusia kecil menjadi pribadi utuh. Maka, jika kita sungguh ingin melahirkan generasi yang cerdas sekaligus berkarakter, jawabannya sederhana: berinvestasilah pada guru. Karena mereka adalah cahaya sejati pendidikan, cahaya yang tak pernah bisa digantikan oleh kilau teknologi apapun. Pendidikan bukanlah proyek satu pihak, ia adalah amanah kolektif yang hanya dapat berhasil jika seluruh pemangku kepentingan memikul tanggung jawab secara tulus.
Terakhir sebagai refleksi : 1). Bagi guru, refleksi ini menegaskan kembali posisi kita sebagai garda terdepan pendidikan. Tugas kitaa bukan hanya mengajar, tetapi menyalakan semangat, membimbing moral, dan menjadi teladan hidup bagi murid. Teknologi boleh membantu, tetapi integritas, dedikasi, dan kasih sayang Anda adalah sumber energi utama yang menghidupkan ruang kelas.2). Bagi pemerintah, jangan sampai terjebak pada euforia digitalisasi yang hanya mengukur kemajuan dari jumlah perangkat dan aplikasi. Investasi terbesar yang dibutuhkan bangsa ini adalah investasi pada manusia terutama guru. Tingkatkan kualitas pelatihan, sejahterakan kehidupan mereka, dan sediakan ruang kebijakan yang berpihak pada penguatan karakter. Hanya dengan itu, visi pendidikan nasional dapat benar-benar berdiri kokoh. 3). Bagi orang tua, sadarilah bahwa pendidikan sejati dimulai dari rumah. Sekolah dan guru dapat mendampingi, tetapi nilai moral, kasih sayang, dan disiplin yang pertama kali dikenalkan berasal dari keluarga. Jangan menyerahkan seluruh tanggung jawab kepada sekolah, justru peran kita sebagai orang tua adalah pondasi yang memperkuat apa yang diajarkan guru. 4). Bagi masyarakat, dukunglah ekosistem pendidikan yang sehat. Jangan hanya mengagungkan prestasi akademik, tetapi berikan penghargaan pada integritas, empati, dan akhlak mulia. Lingkungan sosial yang adil dan sehat adalah kelas besar di luar sekolah, tempat anak-anak belajar menjadi manusia yang sesungguhnya.
Allah Swt. berfirman dalam QS. An-Nahl: 125,
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..."
Ayat ini memberi pesan mendalam bahwa pendidikan sejati bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan jalan menuju kebijaksanaan, akhlak, dan kedewasaan. Maka, marilah kita bersama-sama meneguhkan komitmen: teknologi boleh jadi alat, tetapi guru adalah jiwa. Pemerintah adalah penyokong kebijakan, orang tua adalah pondasi, dan masyarakat adalah ruang belajar yang luas. Hanya dengan kolaborasi tulus itulah pendidikan dapat melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas secara akademis, tetapi juga berkarakter, berempati, dan siap membangun peradaban.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI