Beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan digempur gelombang transformasi digital. Platform pembelajaran daring, aplikasi pintar, hingga kecerdasan buatan (AI) seolah hadir sebagai penyelamat yang mampu mengatasi keterbatasan ruang dan waktu. Pandemi COVID-19 menjadi momentum percepatan, ketika seluruh sistem pendidikan dipaksa beradaptasi dengan teknologi. Kini, bahkan setelah pandemi mereda, gairah digitalisasi pendidikan tetap menyala. Namun, di tengah euforia ini, muncul sebuah pertanyaan besar bahwa apakah teknologi benar-benar mampu menggantikan peran guru? Ataukah justru teknologi hanyalah alat yang tanpa sentuhan manusia akan menjadi tumpukan perangkat tanpa jiwa? Narasi besar ini semakin relevan ketika kita menyadari paradoks pendidikan Indonesia. Menurut Asesmen Nasional BPS dan Kemendikbud (2024-2025), lebih dari 50% siswa kelas IV SD masih belum menguasai literasi membaca dasar, sementara sekitar 60% kesulitan menyelesaikan soal numerasi sederhana. Fakta ini menunjukkan bahwa meski perangkat digital kian masif, kualitas pembelajaran tidak otomatis meningkat. Ada sesuatu yang hilang dan itu adalah ruh pendidikan yang hanya bisa dihidupkan oleh sosok guru.
Untuk memahami lebih jauh, mari kita lihat tren capaian literasi dan numerasi siswa sekolah dasar Indonesia lima tahun terakhir berikut ini.
Data di atas memperlihatkan bahwa meskipun ada peningkatan bertahap dari tahun 2020 hingga 2025, capaian literasi dan numerasi dasar siswa SD masih jauh dari ideal. Literasi meningkat dari 58% (2020) menjadi 65% (2025), dan numerasi dari 52% menjadi 60% pada periode yang sama. Kenaikan ini memang positif, tetapi angka tersebut sekaligus menjadi alarm keras: hampir separuh siswa masih belum menguasai keterampilan dasar membaca dan berhitung. Hal ini menandakan bahwa investasi besar pada teknologi pendidikan tidak menjamin peningkatan signifikan tanpa peran guru yang kuat dan bermakna.
Pendidikan sejati tidak berhenti pada transfer informasi. Jika hanya soal menyampaikan data, mesin pencari seperti Google atau aplikasi AI bisa melakukannya jauh lebih cepat daripada manusia. Tetapi pendidikan adalah proses membentuk manusia, bukan sekadar mengisi kepala dengan hafalan. Seorang guru adalah penuntun moral, pembangun karakter, dan penggerak rasa ingin tahu. Interaksi antara guru dan murid melahirkan kehangatan, motivasi, dan semangat yang tidak bisa digantikan algoritma. Kehadiran guru mampu menyalakan api di hati siswa, bukan hanya menambah isi kepalanya. Riset dari OECD (2023) menunjukkan bahwa siswa yang merasa "didukung secara emosional oleh guru" cenderung memiliki prestasi lebih baik, rasa percaya diri yang lebih tinggi, serta resiliensi menghadapi tantangan. Data ini mempertegas bahwa guru berfungsi sebagai fasilitator emosi dan sosial, bukan sekadar pengajar kognitif.
Ada asumsi populer bahwa generasi muda sering disebut "digital natives" yang otomatis cakap menggunakan teknologi. Faktanya, banyak siswa memang piawai mengoperasikan perangkat, tetapi tidak serta merta mampu memahami makna dan konteks dari informasi yang mereka temukan. Studi terbaru dari UNESCO (2024) mengungkapkan bahwa lebih dari 40% anak usia sekolah dasar dan menengah masih kesulitan memilah informasi benar dan hoaks meski terbiasa dengan internet. Artinya, literasi digital tidak sama dengan literasi kritis. Di sinilah kehadiran guru sebagai pendamping menjadi vital. Guru bertugas menjembatani antara teknologi dengan pengalaman belajar bermakna. Mereka menuntun murid untuk tidak hanya sekadar "scrolling" dan "copy paste", tetapi juga memahami, mengkritisi, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks kehidupan nyata.
Teknologi hanyalah media; kualitas pendidikan ditentukan oleh bagaimana media itu digunakan. Guru adalah jembatan yang menghubungkan teknologi dengan pengalaman belajar yang relevan. Contoh sederhana misalnya perangkat lunak simulasi sains bisa menampilkan eksperimen spektakuler. Namun, tanpa bimbingan guru yang mengajarkan esensi di balik eksperimen itu, siswa hanya akan terpukau secara visual tanpa memahami makna ilmiahnya. Begitu pula dalam pembelajaran matematika berbasis aplikasi: algoritma bisa memberikan jawaban instan, tetapi hanya guru yang mampu menumbuhkan logika berpikir, ketekunan, dan daya nalar kritis. Selain itu, ada dimensi yang sama sekali tidak bisa disentuh oleh teknologi: empati, kerjasama, dan komunikasi. Nilai-nilai ini tumbuh dalam ruang kelas melalui interaksi langsung antara guru dan siswa, bukan dari layar perangkat.
Bill Gates pernah menegaskan, "Teknologi hanyalah alat. Dalam hal membuat anak-anak bekerja sama dan termotivasi, guru adalah yang terpenting." Pernyataan ini semakin relevan di tengah maraknya "fetish digitalisasi" pendidikan. Negara bisa membeli ribuan perangkat tablet, menanamkan jaringan internet super cepat, bahkan menyediakan platform daring yang canggih. Namun, tanpa guru berkualitas dan berdedikasi, semua itu akan menjadi sekadar infrastruktur kosong. Riset Bank Dunia (2024) juga menyoroti bahwa keberhasilan pendidikan di negara-negara dengan kemajuan signifikan tidak ditentukan oleh jumlah perangkat digital di kelas, tetapi oleh investasi jangka panjang pada kualitas guru: pelatihan, penghargaan, dan kesejahteraan.
Pendidikan sejati adalah relasi, bukan sekadar transaksi informasi. Guru menjadi inti pendidikan karena mereka tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai. Teknologi memang mampu memperkaya metode pembelajaran---misalnya melalui gamifikasi, augmented reality, atau AI tutor tetapi keberhasilan tetap ditentukan oleh kualitas hubungan guru dan murid. Tanpa relasi ini, pendidikan hanya akan melahirkan generasi yang pintar secara teknis tetapi miskin secara moral. Kita mungkin akan menghasilkan individu yang jago algoritma, tetapi kehilangan empati; ahli coding, tetapi gagal berkolaborasi; cerdas akademis, tetapi rapuh dalam menghadapi tekanan hidup.
Tujuan akhir pendidikan tidak pernah hanya tentang mencetak individu dengan skor ujian tinggi. Pendidikan sejati adalah tentang membentuk manusia utuh dan berkarakter, berempati, berintegritas, dan mampu hidup bersama secara harmonis. Guru, melalui bimbingan personal, menanamkan nilai-nilai luhur yang tidak mungkin ditanamkan oleh mesin. Dari guru, siswa belajar tentang kejujuran, kesabaran, ketekunan, hingga makna pengabdian. Nilai-nilai ini yang kelak menjadikan mereka tidak hanya "cerdas" tetapi juga "bijak". Dalam tradisi Islam, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Ahmad). Hadits ini menegaskan bahwa inti pendidikan adalah akhlak, bukan sekadar kecerdasan intelektual.