Happy Independence Day Indonesia yang ke 80 Tahun. #SebuahRefleksi !!!.
Setiap bulan Agustus, bangsa ini diselimuti semangat perayaan. Bendera merah putih berkibar di jalan-jalan, pidato berapi-api disampaikan, dan lagu perjuangan kembali mengalun. Namun di balik gegap gempita itu, kita perlu menundukkan kepala sejenak dan bertanya: apakah merdeka hanya sebatas simbol ?. Â Ataukah ia sebuah makna yang hidup dalam denyut nadi rakyat ?. Soekarno pernah berkata dalam pidatonya pada 17 Agustus 1945: "Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad 'merdeka, merdeka atau mati !'" Namun, kemerdekaan yang ia maksud bukan hanya lepas dari penjajahan asing, melainkan juga kemerdekaan yang substantif yaitu kemerdekaan politik, ekonomi, dan budaya.
Hari ini, merdeka sering kali dirayakan dengan seremoni yang megah: parade militer, upacara kenegaraan, pesta rakyat, dan lomba-lomba yang penuh suka cita. Semua itu indah, tetapi adakah ia mencerminkan wajah asli kemerdekaan ?. Â Di balik panggung, rakyat masih bergulat dengan kenyataan pahit: kemiskinan struktural, ketimpangan sosial, dan korupsi yang tak kunjung lenyap. Tan Malaka dalam Madilog (1943) menulis: "Politik tanpa ekonomi hanyalah omong kosong !!!." Kalimat ini menampar realitas kita pada hari ini: kemerdekaan politik telah lama kita capai, tetapi kemerdekaan ekonomi masih jauh panggang dari api. Segelintir elite menguasai sumber daya, sementara mayoritas rakyat hanya mendapat sisa remah. Apakah ini wajah bangsa merdeka ?!?.
Merdeka hari ini sejatinya adalah hidup dalam keringat petani yang terus menanam meski tanahnya diperas kebijakan yang timpang. Ia hidup dalam derap langkah buruh pabrik yang bekerja belasan jam, sering kali tanpa jaminan layak. Ia bersemayam dalam keberanian nelayan kecil yang melaut melawan gelombang dan dominasi kapal besar. Bung Hatta pernah menegaskan: "Indonesia merdeka bukanlah untuk segelintir orang, tetapi untuk semua orang. Kemerdekaan adalah jembatan emas bagi kesejahteraan rakyat !!." Jika rakyat kecil masih hidup dalam lilitan utang, upah rendah, dan akses kesehatan yang minim, maka jembatan emas itu belum pernah benar-benar kita seberangi.
Salah satu penyakit bangsa ini adalah menjadikan kemerdekaan sebagai panggung elit. Para penguasa berpidato lantang tentang keadilan, tetapi fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Kekuasaan digunakan sebagai alat mempertahankan status quo, bukan sebagai jalan mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Seperti yang pernah diperingatkan Soekarno dalam pidato 1960: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri !!!."Â Kata-kata ini kini terbukti. Penjajahan baru datang dalam rupa korupsi, oligarki, privatisasi sumber daya, dan kesenjangan ekonomi. Bangsa ini tidak lagi dijajah oleh bangsa asing, tetapi oleh segelintir orang bangsanya sendiri.
Dalam pembukaan UUD 1945 termaktub cita-cita luhur: "mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Namun, pertanyaannya: sejauh mana cita-cita itu telah tercapai ?!?. Â Jika hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, jika kebebasan berpendapat masih dibungkam, dan jika kemiskinan masih melilit sebagian besar rakyat, maka jelas kemerdekaan itu belum substansial. Seorang pemikir kontemporer, Rocky Gerung, pernah menyindir:Â "Kita merdeka, tapi pikiran kita masih terjajah." Merdeka bukan sekadar fisik lepas dari belenggu kolonial, tetapi juga merdeka dalam berpikir, berpendapat, dan menentukan arah bangsa tanpa dikendalikan oligarki dan kepentingan asing.
Merdeka harus menjadi nafas kolektif, bukan hak istimewa segelintir elit. Selama jurang antara kaya dan miskin semakin lebar, selama rakyat kecil dipinggirkan, selama suara mereka tenggelam oleh gemuruh elit politik, maka merdeka hanyalah ilusi. Tan Malaka mengingatkan: "Satu-satunya idealisme yang dapat diterima oleh bangsa Indonesia adalah idealisme kemerdekaan yang sejati." Kemerdekaan sejati itu menuntut solidaritas, kebersamaan, dan kesadaran kolektif. Bangsa tidak akan benar-benar merdeka jika sebagian besar rakyatnya masih hidup dalam keterbelengguan sosial dan ekonomi.
Merdeka bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu masuk untuk memperjuangkan cita-cita bangsa. Ia adalah api yang harus terus menyala. Bung Karno pernah menegaskan: "Bangunlah dunia baru di atas reruntuhan dunia lama." Api kemerdekaan itu seharusnya membakar habis ketidakadilan, membongkar oligarki, dan menyalakan harapan bagi rakyat kecil. Namun, api itu kini sering dipadamkan oleh pragmatisme politik, transaksi kekuasaan, dan mentalitas konsumtif yang melupakan esensi perjuangan. Tugas kita adalah menjaga nyala api itu, agar tidak berubah menjadi bara kecil yang pelan-pelan padam.
Kini saatnya kita mengkaji ulang makna merdeka. Kemerdekaan tidak boleh berhenti pada parade militer atau lomba tujuh belasan, tetapi harus hadir dalam kehidupan sehari-hari rakyat: di sawah, di pabrik, di kampung, di sekolah, di rumah sakit. Merdeka adalah ketika anak-anak bangsa bisa bermimpi tanpa dibatasi biaya, ketika ibu-ibu bisa tersenyum karena hidup keluarganya terjamin, ketika rakyat kecil bisa berdaulat atas tanah dan lautnya sendiri.
Seperti kata Bung Hatta: "Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, tetapi karena lilin-lilin kecil di desa !!!." Merdeka sejati lahir ketika setiap lilin kecil itu menyala---ketika rakyat kecil benar-benar menikmati hasil kemerdekaan, bukan hanya menjadi penonton dalam panggung elit. Merdeka untuk semua. Bukan untuk segelintir. Bukan untuk kepentingan politik sesaat. Tetapi untuk seluruh rakyat yang menjadi pewaris sah tanah air ini.
Kemerdekaan sejati tidak berhenti pada simbol bendera yang berkibar atau parade militer yang megah. Ia menuntut kehadiran nyata dalam kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat. Tugas utama para pemimpin bangsa adalah memastikan bahwa makna merdeka tidak hanya dirayakan di podium dan istana, tetapi benar-benar hadir di meja makan rakyat, di sawah-sawah petani, di kapal-kapal nelayan, di ruang kelas anak-anak desa, dan di pabrik tempat buruh menggantungkan hidupnya.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi di Indonesia masih cukup mengkhawatirkan. Pada September 2024, Gini ratio tercatat sebesar 0,381, naik dibanding Maret 2024 (0,379), dengan ketimpangan yang lebih menonjol di perkotaan (0,402) dibanding pedesaan (0,308). Meskipun tingkat kemiskinan mengalami sedikit penurunan menjadi 8,47% atau sekitar 23,85 juta orang pada Maret 2025, angka ini tetap merepresentasikan besarnya beban struktural yang ditanggung oleh masyarakat bawah. Lebih jauh, laporan global seperti UBS Global Wealth Report (2024) menempatkan Indonesia di jajaran 10 negara dengan kesenjangan kekayaan tertinggi di dunia, dengan trend kenaikan ketimpangan mencapai 15,1% sejak 2008. Fakta ini mempertegas bahwa pertumbuhan ekonomi nasional belum sepenuhnya inklusif, dan bahwa kemerdekaan yang sejati dalam arti keadilan sosial masih jauh dari cita-cita yang diamanatkan dalam konstitusi.Â
Para penguasa tidak bisa terus bersembunyi di balik narasi keberhasilan makroekonomi sementara rakyat di akar rumput masih bergulat dengan harga beras yang naik, biaya kesehatan yang sulit dijangkau, dan pendidikan yang makin mahal. Politik pembangunan yang hanya menguntungkan elit dan korporasi global adalah bentuk baru penjajahan yang dibungkus indah dengan nama investasi dan modernisasi.
Bung Hatta pernah menegaskan: "Indonesia merdeka bukan untuk segelintir orang, melainkan untuk seluruh rakyat. Kemerdekaan adalah jembatan emas untuk menuju kesejahteraan bersama." Bila para pemimpin hari ini hanya menjadikan jembatan emas itu sebagai jalan tol eksklusif bagi segelintir elit, maka mereka sesungguhnya telah mengkhianati amanah proklamasi.
Soekarno dalam pidatonya juga telah mewanti-wanti: "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (JAS MERAH)." Jangan lupakan fakta bahwa kemerdekaan bangsa ini ditebus dengan darah, keringat, dan nyawa jutaan rakyat, bukan hanya oleh mereka yang kini berkuasa. Karena itu, pengkhianatan terbesar terhadap kemerdekaan adalah ketika kekuasaan dipakai untuk memperkaya diri sendiri, mengabaikan penderitaan rakyat, dan membiarkan ketidakadilan tumbuh subur.
Maka, harapan sekaligus tuntutan kita kepada para pemangku kuasa adalah jelas: letakkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Berhentilah memandang rakyat hanya sebagai angka statistik atau lumbung suara di masa pemilu. Datanglah ke sawah, dengarkan keluh kesah petani yang harga gabahnya dipermainkan tengkulak. Duduklah bersama buruh yang gajinya tak sebanding dengan keringatnya. Rasakan getirnya nelayan kecil yang kalah bersaing dengan kapal raksasa. Semua itulah wajah nyata bangsa yang merdeka atau tidak merdeka.
Jika para penguasa masih menutup mata, maka kemerdekaan akan tetap menjadi topeng belaka: indah dipamerkan setiap Agustus, tetapi hampa dalam realita. Namun jika mereka berani mengubah arah kebijakan, mengedepankan keadilan sosial, dan menolak tunduk pada kepentingan oligarki, maka barulah kita bisa berkata dengan lantang: kemerdekaan ini adalah milik kita bersama.
Islam menegaskan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan previlege sebagaimana Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
(QS. An-Nisa: 58)
Rasulullah SAW juga mengingatkan: "Seorang pemimpin adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, para pemimpin bangsa harus menyadari bahwa setiap kebijakan, setiap keputusan, akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya di hadapan rakyat, tetapi juga di hadapan Allah. Sejarah boleh mencatat pengkhianatan, tetapi akhiratlah yang akan memberi ganjaran.
Sekali lagi, merdeka bukan untuk segelintir. Merdeka adalah hak seluruh rakyat Indonesia dan ingatlah juga bahwa Allah SWT akan mencatat, apakah para penguasa hari ini menjadi pewaris cita-cita kemerdekaan atau justru pengkhianatnya...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI