Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi di Indonesia masih cukup mengkhawatirkan. Pada September 2024, Gini ratio tercatat sebesar 0,381, naik dibanding Maret 2024 (0,379), dengan ketimpangan yang lebih menonjol di perkotaan (0,402) dibanding pedesaan (0,308). Meskipun tingkat kemiskinan mengalami sedikit penurunan menjadi 8,47% atau sekitar 23,85 juta orang pada Maret 2025, angka ini tetap merepresentasikan besarnya beban struktural yang ditanggung oleh masyarakat bawah. Lebih jauh, laporan global seperti UBS Global Wealth Report (2024) menempatkan Indonesia di jajaran 10 negara dengan kesenjangan kekayaan tertinggi di dunia, dengan trend kenaikan ketimpangan mencapai 15,1% sejak 2008. Fakta ini mempertegas bahwa pertumbuhan ekonomi nasional belum sepenuhnya inklusif, dan bahwa kemerdekaan yang sejati dalam arti keadilan sosial masih jauh dari cita-cita yang diamanatkan dalam konstitusi.Â
Para penguasa tidak bisa terus bersembunyi di balik narasi keberhasilan makroekonomi sementara rakyat di akar rumput masih bergulat dengan harga beras yang naik, biaya kesehatan yang sulit dijangkau, dan pendidikan yang makin mahal. Politik pembangunan yang hanya menguntungkan elit dan korporasi global adalah bentuk baru penjajahan yang dibungkus indah dengan nama investasi dan modernisasi.
Bung Hatta pernah menegaskan: "Indonesia merdeka bukan untuk segelintir orang, melainkan untuk seluruh rakyat. Kemerdekaan adalah jembatan emas untuk menuju kesejahteraan bersama." Bila para pemimpin hari ini hanya menjadikan jembatan emas itu sebagai jalan tol eksklusif bagi segelintir elit, maka mereka sesungguhnya telah mengkhianati amanah proklamasi.
Soekarno dalam pidatonya juga telah mewanti-wanti: "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (JAS MERAH)." Jangan lupakan fakta bahwa kemerdekaan bangsa ini ditebus dengan darah, keringat, dan nyawa jutaan rakyat, bukan hanya oleh mereka yang kini berkuasa. Karena itu, pengkhianatan terbesar terhadap kemerdekaan adalah ketika kekuasaan dipakai untuk memperkaya diri sendiri, mengabaikan penderitaan rakyat, dan membiarkan ketidakadilan tumbuh subur.
Maka, harapan sekaligus tuntutan kita kepada para pemangku kuasa adalah jelas: letakkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Berhentilah memandang rakyat hanya sebagai angka statistik atau lumbung suara di masa pemilu. Datanglah ke sawah, dengarkan keluh kesah petani yang harga gabahnya dipermainkan tengkulak. Duduklah bersama buruh yang gajinya tak sebanding dengan keringatnya. Rasakan getirnya nelayan kecil yang kalah bersaing dengan kapal raksasa. Semua itulah wajah nyata bangsa yang merdeka atau tidak merdeka.
Jika para penguasa masih menutup mata, maka kemerdekaan akan tetap menjadi topeng belaka: indah dipamerkan setiap Agustus, tetapi hampa dalam realita. Namun jika mereka berani mengubah arah kebijakan, mengedepankan keadilan sosial, dan menolak tunduk pada kepentingan oligarki, maka barulah kita bisa berkata dengan lantang: kemerdekaan ini adalah milik kita bersama.
Islam menegaskan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan previlege sebagaimana Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
(QS. An-Nisa: 58)
Rasulullah SAW juga mengingatkan: "Seorang pemimpin adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, para pemimpin bangsa harus menyadari bahwa setiap kebijakan, setiap keputusan, akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya di hadapan rakyat, tetapi juga di hadapan Allah. Sejarah boleh mencatat pengkhianatan, tetapi akhiratlah yang akan memberi ganjaran.
Sekali lagi, merdeka bukan untuk segelintir. Merdeka adalah hak seluruh rakyat Indonesia dan ingatlah juga bahwa Allah SWT akan mencatat, apakah para penguasa hari ini menjadi pewaris cita-cita kemerdekaan atau justru pengkhianatnya...