Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lonceng Kematian Piala Dunia U-20 Berdentang di Jakarta?

2 Desember 2022   13:13 Diperbarui: 2 Desember 2022   13:15 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih dari 12.000 tenaga kerja dikerahkan siang malam. Pemerintah Indonesia bekerja keras. Terlampau keras. Menyulap Jakarta dengan infrastruktur megahnya. Gelora Senayan, Jalan Lingkar Semanggi, Pusat perbelanjaan Sarinah, Monumen Nasional, Hotel Indonesia, Patung selamat datang. Bangunan tersebut seolah muncul dalam sekejap.

Hingga saat para delegasi mendarat di Jakarta pada 1962, hanya kekaguman yang tampak. Jakarta berubah dalam kecepatan yang mencengangkan. Orang Jepang bahkan menyebut Indonesia bangsa gila. Tidak sampai di situ, prestasi kontingen Indonesia nomor dua setelah Jepang. Indonesia sukses sebagai penyelenggara. Sukses juga sebagai peserta.

Piala Dunia U-20

Pada 2023 Indonesia akan menyelenggarakn event akbar: Piala Dunia FIFA U-20 dan Piala Dunia FIBA 2023. Suara-suara pesimis mulai bermunculan. Akankah Indonesia mampu? Untuk menjawabnya biar tidak terkesan normatif maka kita bisa melihat data-data yang mendukung sebuah kesimpulan.

Pertama, Indonesia sudah berpengalaman mengadakan event besar. Setiap event besar yang diselenggarakan di Indonesia selalu menorehkan catatan keberhasilan. Kendala kecil memang ada, tapi makronya Indonesia selalu sukses. Coba cari data, event Internasional di Indonesia yang gagal? Tidak ada. Karena memang tidak ada.

Mulai Asian Games 1962, Ganefo 1963, Sea Games: 1979, 1987, 1997, 2011, Asian Games 2018. Acara non olahraga: KAA 1955, APEC, GNB, terbaru G-20. Ajang Asian Games 2018 dengan keterlibatan 45 negara Asia juga tidak boleh diremehkan. Saat itu sebenarnya yang mendapat jatah adalah Vietnam. Vietnam tidak punya dana lalu mengibarkan bendera setengah tiang. Menyerah. Akhirnya Indonesia yang mengambil alih.

Itu multi event yang rumit. Mulai pembukaan, akomodasi atlet, transportasi, dan penutupan. Berakhir manis. Pembukaan Asian Games 2018 sudah sekelas olimpiade. Megah, mewah dan elegan. Dengan pengalaman Indonesia--keseringan--sebagai tuan rumah, maka apa yang disangsikan?

Kedua terkait Infrastruktur. Dibanding kondisi 1960-an jelas sekali bahwa Indonesia penyanggupi menjadi tuan rumah bukan atas dasar nekat. Tapi sudah memperhitungkan segala aspek.

Stadion yang digunakan juga sudah berbenah. Ada enam stadion yang ditunjuk: Gelora Bung Karno, Gelora Sriwijaya Jakabaring, Stadion Manahan, Stadion Bung Tomo, Stadion Kapten I Wayan Cipta, dan Stadion Si Jalak Harupat. Dan semua sudah siap dan layak.  Dana juga sudah dianggarkan dan ada. Apalagi yang diragukan? harusnya tidak ada.

Ketiga, sumberdaya manusia Indonesia sangat mumpuni. Untuk urusan membuat event besar apalagi gelaran yang punya gengsi tinggi sangat mudah untuk mencari talenta yang piawai di bidangnya.

Untuk merekrut relawan pun juga bukan perkara susah. Ciri khas gotong royong sangat kental mewarnai Indonesia. Ada kebanggaan tersendiri dari kebanyakan orang Indonesia bisa ikut terlibat di ajang bergengsi untuk negara. Dan itu bukan omong kosong belaka. Itu hal yang riil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun