Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lonceng Kematian Piala Dunia U-20 Berdentang di Jakarta?

2 Desember 2022   13:13 Diperbarui: 2 Desember 2022   13:15 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gelora Bung Karno saat pembangunan pada 1960-an. Sumber: Wikimedia Commons

Judul provokatif di atas menjiplak judul yang dimuat oleh harian the Strait Times Singapura pada 1958. "Lonceng Kematian Asian Games Berdentang di Jakarta". Pernyataan pesimis untuk mengolok-olok Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games IV yang akan dilaksanakan di Jakarta.

Bagi Singapura--dan sebagian negara Asia lainnya--menyangsikan kemampuan Indonesia mampu menggelar event olah raga multinegara. Indonesia belum layak. Dan juga belum punya pengalaman. Kesimpulan yang didasarkan pada fakta tentang minimnya infrastruktur Indonesia.

Sebagai informasi pada 1958, Asian Games Federation mengadakan sidang untuk penentuan tuan rumah selanjutnya. Indonesia mencalonkan diri--sebelumnya Indonesia mengajukan dua kali tapi selalu ditolak. Proposal Indonesia pada 1958 diterima. Hasilnya, Indonesia mengumpulkan 22 suara, sedangkan Pakistan 20 suara. Indonesia dinyatakan menang.

Semua Pesimis kecuali Bung Karno

Jangankan Singapura, banyak tokoh Indonesia yang pesimis. Pun mantan wakil presiden, Moh.Hatta. Keberatan Bung Hatta disampaikan lewat surat kepada Perdana Menteri Djuanda pada 24 Juni 1958.

Bung Hatta dengan berbagai alasan logis melihat Indonesia belum siap--untuk perkara logis matematis Bung Hatta ahlinya. Intinya Indonesia akan direpotkan masalah ekonomi dan politik. Kenyataannya memang tidak salah, walau tidak semuanya benar.

Hal yang sama. Singapura bisa jadi berpikir linear. Sebab akibat. Sebabnya, saat itu, ekonomi Indonesia berantakan. Dalam arti sesungguhnya. Inflasi membumbung. Pertumbuhan ekonomi grafiknya memprihantinkan. Bukan naik atau mendatar, tapi nyungsep ke bawah menerobos garis horisontal x.

Infrastruktur untuk menggelar ajang Internasional belum ada. Indonesia punya lapangan yakni Lapangan Ikada. Jauh dari layak untuk mengadakan acara pertandingan internasional. Tidak ada yang istimewa dari Indonesia saat itu. Akibatnya, Indonesia pasti gagal. Kesimpulan logisnya begitu.

Kenyataannya tidak demikian. Masih ada waktu empat tahun sebelum kembang api perayaan pembukaan Asian Games1962 dinyalakan. Empat tahun adalah waktu yang tidak bisa dipastikan. Tidak bisa terprediksi. Ada banyak kejadian yang berkemungkinan: berkemungkinan gagal dan juga berkemungkinan berhasil. Walau secara hitung-hitungan normal 95% gagal.

Hanya Bung Karno yang optimis. Bung Karno--dengan kepiawaian berdiplomasi--wira-wiri mencari hutangan sampai ke Uni Sovyet. Akhirnya Nikita Kruschev menyetujui pinjaman sebesar US$ 12,5 juta. Setelah mendapat hutangan, pada 1960 Indonesia tancap gas.

Lebih dari 12.000 tenaga kerja dikerahkan siang malam. Pemerintah Indonesia bekerja keras. Terlampau keras. Menyulap Jakarta dengan infrastruktur megahnya. Gelora Senayan, Jalan Lingkar Semanggi, Pusat perbelanjaan Sarinah, Monumen Nasional, Hotel Indonesia, Patung selamat datang. Bangunan tersebut seolah muncul dalam sekejap.

Hingga saat para delegasi mendarat di Jakarta pada 1962, hanya kekaguman yang tampak. Jakarta berubah dalam kecepatan yang mencengangkan. Orang Jepang bahkan menyebut Indonesia bangsa gila. Tidak sampai di situ, prestasi kontingen Indonesia nomor dua setelah Jepang. Indonesia sukses sebagai penyelenggara. Sukses juga sebagai peserta.

Piala Dunia U-20

Pada 2023 Indonesia akan menyelenggarakn event akbar: Piala Dunia FIFA U-20 dan Piala Dunia FIBA 2023. Suara-suara pesimis mulai bermunculan. Akankah Indonesia mampu? Untuk menjawabnya biar tidak terkesan normatif maka kita bisa melihat data-data yang mendukung sebuah kesimpulan.

Pertama, Indonesia sudah berpengalaman mengadakan event besar. Setiap event besar yang diselenggarakan di Indonesia selalu menorehkan catatan keberhasilan. Kendala kecil memang ada, tapi makronya Indonesia selalu sukses. Coba cari data, event Internasional di Indonesia yang gagal? Tidak ada. Karena memang tidak ada.

Mulai Asian Games 1962, Ganefo 1963, Sea Games: 1979, 1987, 1997, 2011, Asian Games 2018. Acara non olahraga: KAA 1955, APEC, GNB, terbaru G-20. Ajang Asian Games 2018 dengan keterlibatan 45 negara Asia juga tidak boleh diremehkan. Saat itu sebenarnya yang mendapat jatah adalah Vietnam. Vietnam tidak punya dana lalu mengibarkan bendera setengah tiang. Menyerah. Akhirnya Indonesia yang mengambil alih.

Itu multi event yang rumit. Mulai pembukaan, akomodasi atlet, transportasi, dan penutupan. Berakhir manis. Pembukaan Asian Games 2018 sudah sekelas olimpiade. Megah, mewah dan elegan. Dengan pengalaman Indonesia--keseringan--sebagai tuan rumah, maka apa yang disangsikan?

Kedua terkait Infrastruktur. Dibanding kondisi 1960-an jelas sekali bahwa Indonesia penyanggupi menjadi tuan rumah bukan atas dasar nekat. Tapi sudah memperhitungkan segala aspek.

Stadion yang digunakan juga sudah berbenah. Ada enam stadion yang ditunjuk: Gelora Bung Karno, Gelora Sriwijaya Jakabaring, Stadion Manahan, Stadion Bung Tomo, Stadion Kapten I Wayan Cipta, dan Stadion Si Jalak Harupat. Dan semua sudah siap dan layak.  Dana juga sudah dianggarkan dan ada. Apalagi yang diragukan? harusnya tidak ada.

Ketiga, sumberdaya manusia Indonesia sangat mumpuni. Untuk urusan membuat event besar apalagi gelaran yang punya gengsi tinggi sangat mudah untuk mencari talenta yang piawai di bidangnya.

Untuk merekrut relawan pun juga bukan perkara susah. Ciri khas gotong royong sangat kental mewarnai Indonesia. Ada kebanggaan tersendiri dari kebanyakan orang Indonesia bisa ikut terlibat di ajang bergengsi untuk negara. Dan itu bukan omong kosong belaka. Itu hal yang riil.

Kesimpulannya

Pelaksanaan gelaran G-20 yang ada di Bali 15-16 November lalu bisa dijadikan pelajaran. Sebelumnya banyak yang menyangsikan Indonesia mampu menyukseskan acara besar tersebut. Faktanya Indonesia mampu. Menjadi tuan rumah dan presidensi yang boleh dikata sangat baik. Padahal tantangannya tidak sedikit dan cenderung rumit.

Dengan data yang tersaji di atas maka tidak ada alasan Indonesia ragu dan merasa harus gagal. Sejarah mencatat Indonesia selalu berhasil menjadi tuan rumah yang baik. Kelewat baik saat menjamu para delegasi yang datang. Untuk urusan merawat tamu atau memanjakan tamu, rasanya rakyat Indonesia memang dari sononya punya DNA baik untuk hal semacam itu. Jadi pada intinya, Ever onward, No Retreat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun