Oleh: Agus Sjafari*
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menelan korban lagi setelah ratusan kasus keracunan kembali terjadi di berbagai daerah. Berdasarkan data Badan Gizi Nasional (BGN) sejak Januari hingga 22 September 2025, sudah terjadi 4.711 kasus keracunan MBG. Dari data tersebut, kasus keracunan paling banyak terjadi di Pulau Jawa. BGN membagi 4.711 kasus tersebut ke tiga wilayah, yakni Wilayah I mencapai 1.281 kasus, Wilayah II mencapai 2.606 kasus, dan Wilayah III meliputi 824 kasus (Kompas.com, 24 Sept 2025). Hal tersebut bisa juga belum termasuk data keracunan yang tidak terdata atau tidak terlaporkan. Jumlah tersebut ternyata semakin bertambah dibandingkan dengan jumlah -- jumlah kasus keracunan yang terjadi di awal -- awal program ini diluncurkan seiring dengan semakin bertambahnya Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang terlibat dalam program MBG ini.
Program MBG ini merupakan program nasional yang sangat rentan bermasalah seiring dengan belum adanya sistem yang baku yang seharusnya diterapkan secara ketat. Salah satu standar yang seharusnya menjadi perhatian utama adalah tingkat higienitas makanan yang layak dikonsumsi. Berdasarkan data terbaru, dari total 8.583 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang beroperasi di seluruh Indonesia, hanya 34 SPPG yang memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) dari Kementerian Kesehatan. Ini berarti kurang dari 1% dari total SPPG yang telah memenuhi standar kebersihan dan sanitasi yang ditetapkan (Detik.com, 28 September 2025). Melihat data tersebut, maka perlu dievaluasi secara menyeluruh terkait beberapa SOP yang harus dipenuhi, kalau perlu program MBG dihentikan sementara sampai semua SOP Program MBG ini terpenuhi.
Bagi sebagian orang tua murid sudah mulai berpikir bahwa makanan dari program MBG diibaratkan sebagai "momok yang menakutkan" dan setiap hari mereka selalu khawatir jangan -- jangan hari ini anaknya terkena makanan yang tidak hygiene dan beracun itu. Bahkan sudah mulai terdengar sayup -- sayup orang tua murid yang menolak agar anaknya tidak makan makanan dari Program MBG.
 Program MBG pada dasarnya harus mendahulukan tingkat kelayakan gizi makanan yang setiap hari dikonsumsi oleh siswa. Ketika makanan yang dikonsumsi ternyata tidak sehat, hanya akan menimbulkan masalah baru dan tidak sesuai dengan tujuan awal program ini yang akan memperbaiki gizi anak Indonesia. Program ini pada dasarnya sangatlah mulia, namun harus disertai dengan terpenuhinya semua standar dan SOP sehingga program ini dapat berjalan dengan mulus.
Keinginan politik pemerintah ternyata tidak dibarengi dengan kesiapan teknis pelaksanaannya. Dengan target semakin banyaknya jumlah SPPG yang menjadi mitra dengan melayani sekitar 3000 -- 4000 jumlah murid yang harus dilayani dalam setiap hari, sepertinya pemegakan standar kesehatan kurang menjadi perhatian dan hanya lebih memilih pemenuhan target pelayanan jumlah paket makanan yang harus tercapai. Ketika Makanan sampai di tangan murid menjadi konsumsi yang kemungkinan basi dikarenakan waktu memasak sampai dengan penyajiannya terlalu lama. Dengan jumlah target setiap SPPG yang harus menyediakan 3000 -- 4000 paket makanan dibutuhkan waktu yang lama untuk memasaknya, belum lagi persoalan yang berhubungan dengan distribusi makanan yang kemungkinan besar juga bermasalah, sehingga ketika makanan tiba di sekolah sudah dalam kondisi yang tidak sehat.
Tidak Seindah yang Dibayangkan
Beberapa negara yang sudah lama dan berhasil melaksanakan program makan siang gratis antara lain: Finlandia, India, Brazil, Swedia, USA, dan beberapa negara lainnya ternyata mampu meningkatkan kesehatan anak -- anak sekolah khususnya anak -- anak sekolah dasar dan menengah.
Program mulia yang sama dan berhasil diterapkan di beberapa negara lain, ternyata tidak mudah untuk di terapkan di negara kita, dimana negara kita yang multi etnis, multi kultur dengan tingkat geografis yang sangat luas. Oleh karena itu program MBG ini perlu melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat khususnya masyarakat yang sudah terbiasa dan professional mengelola makanan sehat dan bergizi. Pemerintah  pusat dalam hal ini lebih banyak pada aspek kebijakannya, penentuan SOP, pengawasan dan evaluasi yang ketat.
Semakin merebaknya kasus keracunan makanan MBG ini sudah selayaknya di masukkan kepada kondisi darurat keracunan makanan MBG dengan tingkat pengawasan yang sangat ketat serta penerapan sanksi yang sangat berat bagi para pelanggarnya khususnya pihak pelaksana dan mitra penyedia. Bagi para pejabat pelaksana dan mitra yang bermain -- main dan tidak sesuai dengan standar yang ditentukan, maka ia harus dijatuhi hukuman yang berat dan dilarang untuk kembali menjadi mitra SPPG. Pihak -- pihak yang tidak berkompeten di dalam penyediaan makanan MBG ini harus disingkirkan dari program ini. Mengapa demikian?. Karena program ini berhubungan dengan kesehatan manusia terutama para generasi anak bangsa di masa depan.
Adakah unsur koruptif dalam program MBG ini?. Sangatlah memungkinkan dalam program ini mengandung unsur perilaku koruptif. Dengan anggaran negara yang berjumlah ratusan triliun yang digelontorkan oleh negara, maka banyak pihak yang ingin terlibat dalam program ini. Baik dari pihak kelembagaan pemerintah maupun pihak swasta yang ingin menjadi mitra SPPG. Dalam program ini sangatlah dimungkinkan adanya "permainan" dalam penentuan harga setiap paket makanannya sehingga mengurangi kualitas makanan yang disajikan. Pemerintah harusnya benar -- benar melakukan pengawasan dalam masalah ini, bahkan perlu melibatkan aparat penegak hukum mulai dari kejaksaan, kepolisian, dan KPK dalam mengusut penyelewengan dan kebocoran dalam pengelolaan program MBG ini.
Adakah Politisasi Program MBG?
Lahirnya program MBG pada dasarnya merupakan produk politik, dimana program ini merupakan program unggulan dan janji politik pasangan Prabowo -- Gibran dalam pemilu 2024 yang lalu yang kemudian menjadi program pemerintah yang harus dilaksanakan. Sebagai program unggulan, maka pemerintahan Prabowo harus merealisasikan program MBG ini. Meskipun demikian, keharusan dan kewajiban dalam merealisasikan program ini haruslah bersandar kepada norma -- norma, etika, ketentuan teknis dalam pelaksanaannya agar program ini berjalan dengan lancar.
Setiap program populis yang dilaksanakan oleh pemerintah akan selalu mengandung resiko kegagalan. Dengan semakin banyaknya kasus keracunan makanan dalam program MBG ini, maka program ini akan dianggap sebagai "kebijakan politik yang gagal" artinya pemerintah Prabowo -- Gibran akan dipandang "tidak mampu" merealisasikan janji politiknya. Bagi pihak -- pihak yang berseberangan dengan Prabowo lebih lanjut hanya menganggap program MBG ini sebagai "program omon -- omon" yang tidak dapat direalisasikan. Kegagalan dalam program MBG ini akan menjadi amunisi "kapitalisasi politik" kegagalan program pemerintah Prabowo -- Gibran.
Karena program MBG ini merupakan salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo, maka perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasinya juga harus dilaksanakan secara unggul dan berkualitas. Hal -- hal teknis yang berhubungan dengan pemilihan bahan makanannya, pengolahan makanan, penyimpanan makanan, pengawasan kualitas, pembersihan dan sanitasi, pelatihan karyawan, distribusi yang tepat waktu, serta aspek -- aspek teknis lainnya perlu menjadi perhatian yang sangat serius. Adanya sedikit celah pada SOP yang tidak terlaksana dengan baik akan sangat mencederai kepentingan politik pemerintah Prabowo ke depan. Sangat dimungkinkan ketika program ini gagal, maka akan menjadi amunisi politik untuk mendeskreditkan pemerintahan Prabowo dan akan mengganjal pencalonannya kembali pada pemilu 2029 yang akan datang.
Penulis adalah Dosen FISIP Untirta; dan Analis Masalah Sosial & Pemerintahan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI