Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... wellness coach

Makan dengan makanan yang kita olah sendiri dengan bumbu organik tanpa perasa dan bahan kimia, dapat menyembuhkan hampir semua penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peta Kesadaran Hidup Manusia Menurut Falsafah Jawa

9 Juni 2025   16:24 Diperbarui: 9 Juni 2025   16:24 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar peta macapat. Sumber: milik pribadi

Tidak ada yang istimewa dari kematian. Tua. Sakit. Lalu selesai. Tapi yang membuat kita patut merenung bukan bagaimana manusia mati, melainkan bagaimana manusia pernah hidup. Bagaimana manusia pernah menjadi bayi yang menangis pertama kali, anak muda yang jatuh cinta terlalu dalam, lelaki yang bekerja tanpa tahu lagi untuk siapa. Dan sekarang, tubuhnya dibungkus kain putih, diam. Selesai. Seolah hidup hanya barisan bait pendek yang dibacakan dengan nada pelan-pelan.

Orang Jawa menyebutnya tembang macapat. Tapi sesungguhnya, macapat itu bukan sekadar tembang. ia adalah peta kesadaran manusia, versi Jawa tentu saja. Peta dalam tembang itu dimulai dari Mijil, Maskumambang, Kinanthi, Sinom, Asmaradana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh dan Pucung.

Kita semua berangkat dari Mijil; keluar, lahir. Tidak tahu apa-apa. Tak membawa nama, tak membawa dosa. Dunia belum kita kenali, dan hidup masih kosong seperti kertas yang belum disentuh pena. Di fase ini, kita belum mampu memilih. Kita hanya hadir, dibentuk oleh siapa yang menyambut dan bagaimana dunia menerima.

Lalu datang Maskumambang. Kita tumbuh, tetapi belum berpijak. Mengambang di antara tangis dan tawa. Di fase ini, kita belajar tergantung. Tergantung pada ibu, pada pelukan, pada kasih yang tanpa syarat. Fase ini rapuh, dan karena itulah ia suci. Kita belum tahu bahwa dunia bisa tega. Belum tahu bahwa cinta bisa bersyarat.

Kemudian Kinanthi datang. Dunia mulai terbuka, dan kita mulai dituntun. Tangan-tangan orang tua, guru, buku, bahkan televisi, media sosial, mulai mengisi pikiran kita dengan apa yang harus dan tidak boleh. Ini masa membentuk. Masa di mana satu nasihat bisa mengakar seumur hidup. Masa di mana luka kecil bisa menjadi cerita yang tak pernah selesai.

Saat tubuh menguat dan rasa ingin tahu meledak, kita masuk ke fase Sinom. Muda. Berani. Ideal! Semuanya terasa mungkin. Kita mulai ingin menentukan arah sendiri. Masa ini berbahaya: karena kita merasa tahu, padahal belum. Tapi justru di situlah keindahannya. Ada semangat muda yang menantang langit. Menjadi idealis, pemberontak dan tampak berani, meski tak tahu caranya terbang.

Dan seperti cerita klasik yang selalu berulang, setelah sinom... datang Asmaradana. Cinta. Gejolak. Hasrat yang mendebarkan sekaligus membingungkan. Kita mulai mengenal ketertarikan, cemburu, dan patah hati. Di sinilah banyak dari kita membentuk luka terdalam dan juga pelajaran paling jujur. Bahwa mencintai tak selalu berarti memiliki. Bahwa menyentuh hati orang lain tak selalu diizinkan.

Lalu kita dewasa. Masuk ke Gambuh. Menyatu. Menjalin. Menikah. Membangun. Di fase ini, kita merasa harus mapan. Harus berhasil. Harus berguna. Kita mulai kehilangan diri dalam rutinitas dan peran sosial. Kita bukan lagi "aku" tapi "ayah dari...", "istri dari...", "pegawai di...". Gambuh adalah fase ketika tanggung jawab membungkam mimpi. Tapi juga fase di mana cinta menjadi stabil dan penuh pengertian.

Setelah itu apa?

Kita berharap akan tiba di Dhandhanggula. Yaitu fase keseimbangan. Fase saat kita bisa menoleh ke belakang dan merasa: aku pernah mencoba, aku pernah jatuh, aku pernah gagal, dan sekarang aku bisa berdamai. Tapi tidak semua orang bisa sampai ke fase ini.

Banyak yang terjebak di fase selanjutnya:

Durma. Fase lupa diri. Saat orang sudah punya segalanya, tapi justru kehilangan arah. Kekuasaan, ego, keserakahan, dan dendam, semuanya tumbuh subur di fase ini. Durma bukan tentang usia, tapi tentang kehilangan kesadaran.

Banyak orang muda yang sudah durma. Banyak yang tua, tapi belum sampai dhandhanggula.

Namun, jika seseorang cukup beruntung, atau cukup hancur duluan dan baru menjadi sadar, maka ia akan sampai ke Pangkur. Melepaskan. Mundur dari gemerlap, kembali ke dalam. Ini fase reflektif. Bukan karena lelah akan hidup, tapi karena sadar. Karena sudah cukup. Karena tahu bahwa dunia ini hanya panggung, bukan rumah.

Dan akhirnya... Megatruh. Ruh lepas dari raga. Tidak ada yang bisa dibawa. Tidak rumah. Tidak gelar. Tidak kekayaan. Tidak follower. Yang tersisa hanya aroma nama, dan itupun, pelan-pelan akan dilupakan.

Setelahnya tinggal Pucung. Tubuh dibungkus. Tanah ditutup. Dan hidup kembali hanya menjadi cerita. Tak ada yang tersisa dari orang yang pernah tertawa, pernah memeluk anaknya, pernah mencintai hidupnya. Dalam Pucung, seseorang telah melalui semua bait itu.

Kita? Mungkin masih berjalan dari satu tembang ke tembang lain. Mungkin masih sinom, mungkin masih durma. Tapi suatu hari, setiap kita akan sampai di bait terakhir. Bukan untuk diakhiri. Tapi untuk mengerti bahwa hidup bukan garis lurus, melainkan tembang yang harus dinyanyikan dengan penuh kesadaran.

Semua manusia akan lahir, mencinta, lupa, dan pulang. Namun, jika beruntung, kita pulang dengan hati yang utuh. Tidak menyesal karena telah bernyanyi dengan jujur.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun