Banyak yang terjebak di fase selanjutnya:
Durma. Fase lupa diri. Saat orang sudah punya segalanya, tapi justru kehilangan arah. Kekuasaan, ego, keserakahan, dan dendam, semuanya tumbuh subur di fase ini. Durma bukan tentang usia, tapi tentang kehilangan kesadaran.
Banyak orang muda yang sudah durma. Banyak yang tua, tapi belum sampai dhandhanggula.
Namun, jika seseorang cukup beruntung, atau cukup hancur duluan dan baru menjadi sadar, maka ia akan sampai ke Pangkur. Melepaskan. Mundur dari gemerlap, kembali ke dalam. Ini fase reflektif. Bukan karena lelah akan hidup, tapi karena sadar. Karena sudah cukup. Karena tahu bahwa dunia ini hanya panggung, bukan rumah.
Dan akhirnya... Megatruh. Ruh lepas dari raga. Tidak ada yang bisa dibawa. Tidak rumah. Tidak gelar. Tidak kekayaan. Tidak follower. Yang tersisa hanya aroma nama, dan itupun, pelan-pelan akan dilupakan.
Setelahnya tinggal Pucung. Tubuh dibungkus. Tanah ditutup. Dan hidup kembali hanya menjadi cerita. Tak ada yang tersisa dari orang yang pernah tertawa, pernah memeluk anaknya, pernah mencintai hidupnya. Dalam Pucung, seseorang telah melalui semua bait itu.
Kita? Mungkin masih berjalan dari satu tembang ke tembang lain. Mungkin masih sinom, mungkin masih durma. Tapi suatu hari, setiap kita akan sampai di bait terakhir. Bukan untuk diakhiri. Tapi untuk mengerti bahwa hidup bukan garis lurus, melainkan tembang yang harus dinyanyikan dengan penuh kesadaran.
Semua manusia akan lahir, mencinta, lupa, dan pulang. Namun, jika beruntung, kita pulang dengan hati yang utuh. Tidak menyesal karena telah bernyanyi dengan jujur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI