Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Pertama Kuliah

16 Juni 2021   17:30 Diperbarui: 16 Juni 2021   20:33 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuliah tatap muka di kelas (huffpost.com).

Dosen Sudrajat mengingatkan saya pada guru Soedradjat. Warna suaranya mirip, intonasinya persis. Kemeja dan arlojinya juga hampir. Akan tetapi dari  semua perbandingan di antara keduanya,  yang paling mendekati plek adalah cara membuat sudut pandang.

Sudrajat  adalah guru besar teknik alumni kampus. Seangkatan dengan Yusril dan pernah bareng satu kos katanya. Doktor diselesaikan di Munich sehingga kerap pergi ke sana.

Perawakan Sudrajat sedang-sedang saja  tetapi terlihat cukup tangguh untuk laki-laki seusianya. Gemar  berkuda dan kadang main futsal dengan mahasiswa. Meskipun bola ditendang sekenanya tetapi semua senang. Sehabis bertanding semua pemain ditraktir makan bubur kacang.

Soedradjat mengajar fisika. IPA fisika di sekolah menengah pertama kelas VII. Bukan profesor pastinya. Namun apa yang nampak pada guru Soedradjat entah mengapa mengingatkan saya pada sosok tersebut.

Mungkin akibat kacamata tebal, sedikit gondrong,  dan gaya bicara yang kelak saya temui lagi pada kembarannya di kemudian hari, yaitu hari-hari ini. Dosen Sudrajat itu. Imajinasi saya tentang  profil seorang guru besar lalu seolah ditegaskan berkat gelar profesor yang disandang Sudrajat. Jika beliau cuma master  mungkin saya akan kecewa.

Gaya bicaranya itu mengawang-awang dahulu. Berputar-putar di angkasa seperti elang yang sedang memanggil hujan. Lalu secara tiba-tiba menukik tajam hingga  kadang seperti  memaksa hadirin untuk  memeriksa denyut nadi sendiri-sendiri.

Misalnya tentang sejarah katastropik  umat manusia yang datang secara berkala.

Menurut Prof. Sudrajat sebenarnya itu bukanlah fenomena luar biasa secara saintifik. Perang dunia, sampar, tsunami. Itu biasa sebagai kontrol populasi dan belum cukup dekat sampai kiamat memusnahkan manusia . Cuma soal skala yang lebih besar dari insiden harian, dan toh  intervalnya juga cukup jauh.

"Dalam skala mikro tiap individu menjadi unsur-unsur terkecil yang mengalami. Katastropik ibarat sakit yang bisa pulih. Kiamat ya kiamat. End," ujarnya.

Seperti  halnya bumi dan dunia yang mencicil masalah, tubuh kita juga begitu.

Lempeng bumi bergerak, gunung berderak-derak, distribusi kekayaan berpindah-pindah.  Pada tubuh manusia, dalam setiap tarikan napas sesungguhnya kita juga menumpuk residu. Pula setiap kunyahan dan cernaan. Saripati yang diserap beriringan dengan limbah yang diproduksi.

Setelah memulas kanvas di otak dengan warna dasar, barulah perlahan-lahan Sudrajat menghubungkan dengan filsafat teknik. Sketsa jalan pikirannya diuraikan teratur dengan komposisi berimbang. Caranya menata itu yang memperlihatkan bahwa kreativitasnya di atas rata-rata.

Guru Soedradjat juga begitu. Tidak langsung beranjak ke rumus hitung dalam mengajar.

Sebelum memberi contoh mengerjakan soal, terlebih dulu ia bercerita panjang lebar tentang tema yang dibahas. Lewat pengalaman sehari-hari berbagai konsep ia terjemahkan dengan bahasa yang mudah hingga dipahami anak-anak.  

Selain ceritanya yang memikat, Pak Edi juga terlalu murah nilai. Soal ulangan betul-betul  hanya mengulang soal yang pernah dikerjakan. Hanya sedikit berubah angka. 

Edi Soedradjat ini guru pertama saya setelah SD, diperkenalkan Sri Sutarmi dalam pertemuan kelas pertama kali. Bu Sri menjadi wali kelas 7A merangkap wakil kepala sekolah bidang ekstrakurikuler. Mengajar  Bahasa Inggris.

Setelah menjelaskan hak dan kewajiban siswa, Sri Sutarmi memperkenalkan Edi Soedradjat yang akan membawakan fisika. Seharusnya jadwal pelajaran B Indo bersama Guru Kusno seperti yang tercantum di tabel. Kami tak bertanya mengapa ada perubahan.

***

Perlengkapan sekolah (freepik.com).
Perlengkapan sekolah (freepik.com).
Subuh baru saja usai ketika tangan dingin Bapak menempel di kening kepala.

Sudah  jaga sejak beberapa menit lewat dan itu lebih dini dari biasanya. Sejak Sabtu Ibu sudah wanti-wanti agar jangan sampai terlambat. Hari pertama sekolah tak boleh meleset barang seinci.

Tanpa bantuan Bapak pun sesungguhnya tak menjadi  soal bangun pagi  hari ini. Dalam hati masih begitu membuncah tenaga dan rasa bangga. Seragam baru rasanya pas betul kena di badan. Dicoba lagi dicoba lagi sambil bercermin. Tak sabar memperlihatkannya kepada kawan-kawan sekelas nanti.

Sepatu dan tas  baru sudah siap pula. Buku dan alat tulis sebagian masih yang dulu tetapi  bukan masalah besar. Buku paket belum. Nanti ada pengumuman  beserta aneka seragam untuk berbagai keperluan.

Membantu kami yang akan segera berangkat, Ibu sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Menunya sedikit lebih banyak. Sebelum  berangkat belajar kami wajib mengisi perut dulu. Bahkan kalau kesiangan sekalipun.

Setelah mandi dan sarapan yang diselesaikan secepat kerutinan sehari-hari, lanjut berdandan dengan seragam kebanggaan. Terasa agak makan tempo pada bagian ini.

Puas merapikan pakaian sampai level maksimal, tinggal rambut yang belum disisir. Bimbang, apakah akan ada sedikit perubahan ataukah berubah sama sekali. Tetapi aneh juga dilihat-lihat saat mencoba gaya sisiran baru. Tidak sesuai dengan bayangan. Ya sudah, itu nanti saja.

Hari itu Bapak mengantar sampai ke kelas. Agak keberatan karena rasanya tak perlu Bapak mendampingiku sampai duduk di bangku. Tetapi ternyata banyak juga orang tua siswa yang sepemikiran dengan Bapak.

***

Bangku kuliah itu bentuknya berbeda sama sekali dengan bangku sekolah.  Desainnya menyatu dengan meja kecil dan bisa dilipat. Sama sekali tak nyaman untuk menulis. Tas atau map ditaruh di kolong yang bisa ditekuk pula.

Tidak ada perubahan jadwal. Prof. Sudrajat yang mengampu filsafat memberikan kuliah awal pada hari pertama saya belajar di kampus itu.

Saat kuliah mulai barulah ketahuan, dibandingkan jumlah pemirsa rupanya kursi di ruang itu kurang tiga. Sudrajat meminta bantuan seorang mahasiswa untuk mengambil kekurangan itu dari ruang sebelah. Ia sendiri membawa satu biji.

Kesan ringan tangan itu begitu mendalam. Sudrajat tak banyak prosedur dan selagi mampu tampaknya tak begitu keberatan untuk membantu. Karena mahasiswa masih baru, Sudrajat memahami  ada kecanggungan dan perasaan bertamu. Karena itu ia berlaku sebagai tuan rumah dan menunjukkan di ruang mana kursi boleh diambil.  

Slide yang ditayangkan kelihatan sudah dipakai berulang kali. Namun pemaparan Prof Ajat, begitu ia menyingkat namanya, terasa segar karena banyak materi aktual yang sedang hangat dibicarakan. Informasi mendetail dan referensi yang dikutip menunjukkan bahwa beliau tak pernah kekurangan bacaan.

Kuliahnya banyak diselingi pertanyaan. Soal yang diajukan kepada kami lebih sering diawali dengan kata mengapa atau bagaimana. Bukan benar atau salah; A atau B. Karena hari itu baru saja berkenalan, setiap mahasiswa yang menjawab harus menyebutkan nama dan daerah asal.

Tampaklah  bahwa Prof Ajat ini seorang yang banyak berpetualang. Beberapa kawan seangkatan ternyata ada yang besar di berbagai belahan kota dunia dan Prof Ajat selalu bisa mengulas kota-kota tersebut  secara orisinil dan tidak pasaran. Selera humornya memosisikan pendengar sebagai orang dewasa yang membuat kami merasa tersanjung.

Setelah kuliah selesai Sudrajat memberikan tugas pertama. Minggu depan kami diminta membawa 3 jenis baut  yang berbeda.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun