Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pak SBY dan AHY Tak Perlu Drama Hadapi Kudeta, Ini Saatnya Tarung!

6 Maret 2021   18:26 Diperbarui: 7 Maret 2021   16:36 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AHY dan SBY saat Kongres V Demokrat (faktanasional.id)

Jurus prihatin SBY family untuk mengatasi persoalan kudeta Demokrat tidak bekerja maksimal. Mode playing victim-nya kini sudah kadaluarsa. Dan masalah internal Demokrat itu tak bisa diselesaikan dengan drama yang mengharu biru. Tarung politik tak bisa dihindari.

Meski Ketua KSP Moeldoko sudah terlanjur basah masuk ke dalam pusaran arus, tetapi Demokrat tak bisa serta merta mengkambinghitamkan pemerintah. Setelah sebelumnya menuding istana di balik kudeta Demokrat, kini elit partai malah minta intervensi dan perlindungan kepada pemerintah. 

Andi Arief (cnnindonesia.com, 5/3/2021):

"Pemerintah lakukan pembiaran jika KLB ilegal terjadi. Pak Jokowi harusnya bisa bertindak, terlalu lembek bela demokrasi. Soal etika hargai mantan Presiden (SBY) yang lakukan kebenaran juga beku hatinya. Jangan salahkan jika mantan Presiden demonstrasi di Istana dengan standar protokol kesehatan." 

Dalam sejarah kehidupan parpol sejak era orde baru paruh terakhir, dinamika internal parpol itu jamak terjadi. Bedanya adalah, pada masa Suharto intervensi rezim begitu kental sedangkan periode setelahnya kisruh partai lebih pada masalah dinamika internal. Setidaknya yang tampak di permukaan.

Zaman Suharto dari 3 parpol --PPP, Golkar, PDI-- hanya Golkar yang dipupuk dan difasilitasi sehingga daunnya rimbun rindang dan akarnya menyelusup jauh ke dalam sendi-sendi kehidupan warga. PPP dan PDI sebaliknya, dikebiri dan dibikin kerdil.

Setelah era 1998 meski relatif bersih dari  intervensi rezim penguasa, turbulensi kepemimpinan masih kerap terjadi.

PPP sebagai partai yang berbasis konstituen umat Islam terpecah menjadi berbagai partai baru seperti PKB, PAN, dan PKS. Dan partai-partai baru itu pun tak luput pula dari perpecahan.

PKB Gus Dur akhirnya tumbang, muncul PKB Muhaimin. Amien Rais kehilangan PAN dan kisruh PKS memunculkan Partai Gelora besutan Fahri Hamzah.

Bahkan parpol gurem pun ikut mengalami. Wiranto tersingkir dari lingkaran elit Hanura dan perseteruan Partai Berkarya memaksa Tommy Suharto menggugat kepengurusan Muhdi PR. Beruntung akhirnya Tommy Suharto dinyatakan sebagai pimpinan legal.

Lantas apa artinya?

Artinya dinamika internal partai itu adalah hal yang wajar, dengan catatan yaitu periode setelah tumbangnya orde baru. Jadi tak heran jika Menkopolhukam mengungkit soal ini menanggapi keluhan SBY dan AHY yang menangis ketika Demokrat dikudeta. Salah satu faktornya adalah keterlibatan Ketua KSP Moeldoko yang dituding sebagai begal partai oleh loyalis SBY, Andi Mallarangeng.

Menkopolhukam Mahfud MD (kompas.com, 6/3/2021):

"Kasus KLB PD baru akan jadi masalah hukum jika hasil KLB itu didaftarkan ke Kemenkumham. Saat itu Pemerintah akan meneliti keabsahannya berdasar UU dan AD/ART parpol."

Kasus Moeldoko sendiri bukanlah satu-satunya. Pada masa Jokowi terjadi pula konflik internal di Golkar dan PPP dan pemerintah tak ikut campur urusan rumah tangga partai-partai koalisi. Dalam hal evaluasi Jokowi terhadap Moeldoko maka seharusnya itu hanya berlaku jika terdapat pelanggaran kewajiban dan penggunaan fasilitas terkait jabatan. Namunberkaitan hak-hak politik yang bersangkutan maka pemerintah mesti menghormati.

Contoh kongkrit yaitu saat  Khofifah Indar Parawansa maju Pilkada Jatim. Itu adalah hak politiknya, dan karena Khofifah mengundurkan diri dari jabatan menteri maka persoalan menjadi lebih mudah.

Langkah politik Moeldoko pun akan lebih elegan jika mengikuti teladan Khofifah jika ia ingin bersolo-karier menekuni jabatan baru sebagai Ketum Demokrat. Namun hal itu juga tentu menunggu keputusan Kemenkumham, mana yang legal di antara kepengurusan DPP Demokrat kubu AHY dan kubu KLB.

Tetapi pada intinya SBY family tak perlu lagi merajuk minta belas kasihan kepada pemerintah. Bertarunglah layaknya seorang perwira atau ksatria. Kalah menang biasa tetapi lawan di medan laga harus ditaklukkan dulu dengan segenap kekuatan.

Gus Dur pernah kalah secara politik dan ya sudah, tak ada sesuatu yang berlebihan dari mantan presiden itu  menanggapi kekalahannya. Amien Rais juga tempo hari kalah di kandangnya sendiri dan terpaksa babat alas membuka lembaran baru bersama Partai Ummat.

Pada akhirnya dinamika internal itu sendiri yang akan menggodok layak tidaknya AHY memimpin Demokrat. Secara hukum ia harus mengorganisasi mekanisme gugatan lewat pengadilan dan secara politik ia harus mengkonsolidasi kekuatan loyalis yang tersisa.

Pada masa-masa tuanya SBY tampak masih harus turun gelanggang. Bukan hanya demi putra mahkota AHY yang kini menjabat ketua umum, tetapi juga demi martabat dirinya sebagai politisi papan atas. Takdir itu yang kini membentang di hadapan elit Cikeas tersebut. Harus dihadapi dan bukan untuk ditangisi.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun