Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kudeta Demokrat dan Manuver Silang Gatot-Moeldoko, SBY Senasib dengan Jokowi

6 Maret 2021   03:17 Diperbarui: 6 Maret 2021   03:32 5028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sertijab antara Panglima TNI Jenderal Moeldoko dengan Jenderal Gatot Nurmantyo tahun 2015 (tribunnews.com).

Sulit dipercaya, tetapi Demokrat nyata dikudeta.

Kongres Luar Biasa yang digelar kubu perlawanan terhadap Ketum Agus Harimurti Yudhoyono berhasil digelar 5/3/2021 di Deli Serdang. Andi Arief sempat berhasil mengendus lokasi The Hill Hotel and Resort  tempat KLB digelar yang disebut-sebut acara GAMKI, tetapi ia tak kuasa menghentikannya.

KLB tersebut akhirnya berhasil memilih Jenderal (Purn.) Moeldoko sebagai Ketum Demokrat tandingan. Marzuki Alie sebagai rival kandidat bersikap legowo. Agaknya ia mengundurkan diri setelah Moeldoko positif menyambut kursi.

Demokrat yang kemudian terancam morat-marit diamuk perang Baratayuda. Sebagian kader senior seperti Max Sopacua, Jhonny Allen Marbun, dan Marzuki Alie yang kini tak lagi berkiblat ke Cikeas makin solid. Kekuatan semakin mantap setelah Moeldoko terima jadi ketua umum baru setelah ia memastikan KLB memenuhi ketentuan AD/ ART partai.

Moeldoko, (kompas.com, 5/3/2021):

"Saya berterima kasih, tapi sebelumnya ada beberapa pertanyaan saya kepada peserta forum, apakah pemilihan di kongres sudah dilakukan sesuai AD/ART partai?"

Ketum AHY berarti otomatis demisioner menurut sudut pandang KLB. Putra mahkota dinasti Cikeas itu masuk mekanisme proses penggusuran, tiba di gerbang pemakzulan. Tinggal menunggu bagaimana kajian Menkumham soal keabsahan kepengurusan masing-masing kubu. Plus kecenderungan keberpihakan para Ketua DPC secara de facto.

AHY sendiri mengatakan bahwa KLB Deli Serdang itu ilegal, sementara SBY, bapaknya, minta keadilan agar Presiden Jokowi dan Menkumhan tidak mengesahkan Demokrat versi Moeldoko. Mantan presiden dua periode itu juga memastikan bahwa AD/ ART versi KLB hanya akal-akalan saja.

Yang begitu membuat masygul SBY adalah soal sosok Moeldoko-nya. Aneka perasaan muncul ketika kekhawatiran kudeta akhirnya terbukti. SBY malu, bersalah, dan berdosa sehingga komentarnya berakhir dengan permohonan ampunan kepada Tuhan.

Komentar SBY terhadap Moeldoko (kompas.com, 5/3/2021):

"Termasuk rasa malu dan rasa bersalah saya yang beberapa kali memberikan kepercayaan dan jabatan kepadanya. Saya memohon ampun kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesalahan saya itu."

SBY merasa seperti itu karena sosok Moeldoko dulu pernah dianggap orang dekat.  Jabatan Panglima TNI pernah disandang Jenderal Moeldoko pada tahun 2013-2015, yaitu masa periode kedua Presiden SBY.


Jabatan Moeldoko merangkak naik dari Kasdam Jaya 2008, lanjut Panglima Divisi Infanteri I/ Kostrad 2010. Berikutnya lanjut menjadi Pangdam Tanjungpura dan Siliwangi hingga akhirnya menjadi KSAD 2013 sebelum menduduki tampuk kekuasaan tertinggi di tubuh TNI.

Soal jabatan panglima TNI ini yang menarik. Ada perbandingan diametral antara nasib SBY dengan Jokowi.

Jika kini SBY harus bertarung dengan mantan orang kepercayaannya itu, Jokowi juga sempat mengalami. Jokowi juga tahun lalu menghadapi sikap opositif mantan panglima pilihannya yaitu Jenderal Gatot Nurmantyo.

Pasca lengser jabatan panglima, Gatot Nurmantyo aktif dan berperan dalam mendirikan KAMI, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia. Dan lucu namun getir, kawan-kawan Gatot kemudian ditangkap jelang demo rusuh UU Ciptaker dengan tuduhan pasal penghasutan.

Menarik ditelusuri bagaimana sesungguhnya manuver jenderal-jenderal di sekitar presiden. Moeldoko terhadap SBY dan Gatot Nurmantyo terhadap Jokowi. Adakah rentetan peristiwa-peristiwa sekarang dan masa silam berhubungan dengan pernyataan SBY 24 Februari lalu?

Dalam arahan SBY sebagai Ketua MTP Demokrat kepada kader-kader partai terungkap informasi penting. SBY mengungkap dua sosok petinggi berbintang empat dalam kaitan peristiwa sejarah politik era Jokowi, Aksi 212 tahun 2016. Informasi yang diterima SBY kemudian terkonfirmasi lewat dua sosok pejabat penting istana ketika itu: Wapres Jusuf Kalla dan Menkopolhukam Wiranto!

SBY (cnnindonesia.com, 24/2/2021):

"Ternyata ada laporan, baik yang secara serius disampaikan kepada Presiden Jokowi, maupun yang tidak, yang mengatakan bahwa SBY-lah yang menunggangi dan juga mendanai Aksi 212 itu. 

Informasi itu disampaikan kepada saya oleh seorang petinggi 'berbintang empat', dan konon yang melaporkan kepada Presiden Jokowi adalah petinggi 'berbintang empat' yang lain."

Pergiliran jabatan antara Gatot dan Moeldoko sendiri cukup menarik. Berada di seputaran masa jabatan SBY-Jokowi yang berurutan pula.

Jenderal Moeldoko adalah KSAD ke-28 dan Panglima TNI ke-18 yang semuanya berada pada masa SBY. Sedangkan Nurmantyo adalah KSAD ke-30 era SBY dan Panglima TNI ke-19 pada masa Jokowi.

Jenderal Gatot lengser tahun 2017, beberapa bulan sebelum masa pensiun yang memunculkan spekulasi bahwa hal itu adalah pemecatan. Kubu Jokowi (plus Fadli Zon) meluruskan bahwa pemberhentian Gatot itu normal. Penjelasan istana lalu diperkuat dengan penganugerahan Bintang Mahaputera yang kemudian ditolak Gatot.

Desember 2017 Jenderal Gatot cabut dari istana, Januari 2018 masuklah Moeldoko. Ia menggantikan Teten Masduki sebagai Kepala Staf Kepresidenan Indonesia yang ke-3. Panglima TNI pilihan Jokowi out, Panglima TNI era SBY in. Jokowi nampaknya mempersiapkan figur pengimbang andai sesuatu kelak terjadi.

Bukan mengada-ada, ingatlah kembali perhelatan Pilpres 2019. Kubu Jokowi memasang Erick Thohir sebagai Ketua Tim Kampanye setelah Prabowo memasang Sandiaga Uno sebagai cawapres. Yang punya potensi menekuk Sandiaga Uno secara pengalaman profesi dan karier tentu Erick Thohir yang lebih mampu.

Pengamat politik Muhammad Asfar pernah menengarai pula kemungkinan tersebut. Hanya saja dosen Universitas Airlangga itu mengatakannya dalam konteks Pilpres 2019 di mana Jokowi berkepentingan untuk memperkuat kesolidan kabinet dan koalisi. Adapun "tugas" Moeldoko selanjutnya untuk mengawal Jokowi secara politik termasuk menghadapi lawan-lawannya tidak dikatakan Asfar secara eksplisit ketika itu (tribunnews.com, 17/1/2018).

Dan dalam kasus kudeta Demokrat dengan sosok Moeldoko yang kemudian terpilih jadi ketum, memang tidak terjadi all mantan panglima TNI final. Moeldoko berhadapan langsung dengan sang patron Demokrat yaitu SBY. Yang mana hal itu sedikit banyak identik dengan perlawanan kritis Gatot Nurmantyo dengan gerakan KAMI-nya terhadap Jokowi beberapa waktu lalu.

Cerita lebih lengkap tentu Gatot Nurmantyo dan Moeldoko sendiri yang lebih gamblang. Penjelasan mereka di seputar manuver elit pusat kekuasaan tentu menarik untuk ditulis sebagai buku putih masing-masing. Siap-siap best seller bukunya, jenderal!***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun