Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pandemi Corona, Prestasi Jokowi Lebih Dekat Xi Jinping Ketimbang Trump

25 Oktober 2020   07:09 Diperbarui: 25 Oktober 2020   11:15 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Xi Jinping dan Jokowi (Antara Foto/).

Donald Trump soal ancaman corona, (3/10/2020):

"Just stay calm, it will go away."

Penilaian kinerja setahun Jokowi-Maruf memerintah tidak dapat mengelak dari kondisi bencana pandemi Covid-19. Untuk menggambarkan bagaimana prestasi pemerintah secara lebih obyektif sebuah artikel yang dirilis Financial Times berjudul Covid-19: The global crisis - in data rasanya cukup mewakili. 

Tulisan yang dipublikasikan 14 Oktober itu merangkum berbagai rekaman media tentang dampak buruk pandemi terhadap perekonomian global. Ada relasi antara kemampuan suatu negara dalam mengontrol wabah dengan tingkat lesunya kinerja ekonomi negara tersebut.

Bersama dengan empat negara Asia lain yaitu Vietnam, China, Korea Selatan, dan Jepang; Financial Times mencantumkan Indonesia sebagai negara yang dianggap baik dalam menangani pandemi. Ada dua kriteria yang menjadi pertimbangan yaitu:  angka GDP (gross domestic product) dan tingkat kematian per juta penduduk.

Di antara lima negara yang dibandingkan tadi, Indonesia mencatat tingkat kematian per juta penduduk yang paling besar. Menurut worldometer pada 25/10/2020, angkanya adalah:

  • Vietnam: 0,4
  • China: 3
  • Korea Selatan: 9
  • Jepang: 13
  • Indonesia: 48

Kemudian, ranking GDP pandemi di antara lima negara tersebut, Indonesia berada di posisi 4 dengan perkiraan penyusutan sekitar -7,5 %  pada paruh pertama 2020. Posisi 5 diduduki Jepang yang melorot -8%.

Posisi tiga teratas masih sama dengan peringkat rata-rata korban jiwa yaitu berturut-turut Vietnam, China, dan Korea Selatan. Lebih beruntung lagi Vietnam dan China; meski menurun drastis tetapi mereka masih mencatat pertumbuhan GDP atau produk domestik bruto (PDB) di atas nol alias positif.

Versi pembanding yang dikutip dari tradingeconomics.com, kuartal kedua GDP Indonesia anjlok -5,32%. Sedangkan kuartal berikutnya menurut catatan kompas.com ada kenaikan menjadi -2,9%. 

Meskipun begitu Indonesia secara teknis sudah masuk resesi. Dua kuartal berturut-turut  GDP negatif menjadi kriteria suatu negara masuk kondisi tersebut.

Grafik hubungan antara kemampuan negara mengontrol wabah dengan tingkat penurunan kinerja ekonomi menurut Financial Times dengan tambahan data Indonesia yang dikutip dari tradingeconomics.com dan kompas.com (ig.ft.com).
Grafik hubungan antara kemampuan negara mengontrol wabah dengan tingkat penurunan kinerja ekonomi menurut Financial Times dengan tambahan data Indonesia yang dikutip dari tradingeconomics.com dan kompas.com (ig.ft.com).
Pandemi dan ideologi

Sekilas secara kasat mata, Indonesia dibandingkan negara lain prestasinya cukup baik. Catatan Financial Times tadi dirasa-rasa seperti sebentuk apresiasi atas kinerja pengendalian pandemi di negara-negara Asia yang cukup impresif di mana Indonesia termasuk di dalamnya.

Tetapi selalu ada cara untuk menghubungkan apa pun di dunia ini dengan kepentingan politik. 

Keberhasilan Indonesia mengantisipasi ketersediaan vaksin mendapat komentar miring secara tidak proporsional. Negara yang siap membantu dalam hal ini adalah China (Sinovac) dan Inggris (AstraZeneca).

Dalam hubungannya dengan penanganan Covid-19, Fadli Zon menyebut bahwa vaksin dari China disebut sebagai vaksin palu arit. Tendensi penyebutan itu mirip dengan Trump yang dulu menyebut Covid-19 sebagai kung flu atau virus China.

Konteks yang dimaksud Fadli Zon dalam acara di tvOne (22/10) itu adalah pernyataan Jokowi yang menghendaki Indonesia mandiri dalam penyediaan vaksin.

Jokowi ingin Indonesia memproduksi vaksin sendiri yang disebut vaksin merah putih. Sebagai langkah antisipasi, pemerintah juga mengimpor vaksin dari negara lain termasuk dari China. Hal tersebut dilakukan karena secara kapasitas Indonesia sulit menyediakan vaksin skala besar dalam waktu singkat.

Jair Bolsonaro, (bbc.com, 22/10/2020):

"The Brazilian people will not be anyone's guinea pig."

Komentar Fadli Zon soal vaksin ini mendapat angin pula dari Amerika Latin. Presiden Brazil, Jair Bolsonaro, yang awalnya menyepelekan corona tiba-tiba menjadi pahlawan.

Statement Bolsonaro yang menolak vaksin asal China dengan alasan uji klinis rame-rame dikutip oleh media di Indonesia. Melupakan kelalaian Bolsonaro yang mengakibatkan 150.000 rakyatnya tewas akibat wabah. Ada pun total kasusnya sendiri  sudah mencapai 5 juta lebih di sana.

Idola Bolsonaro yaitu Presiden AS Donald Trump, tak kalah gilanya. Kebohongan dan pernyataan-pernyataan menyesatkan silih berganti meluncur untuk menutupi buruknya pandemi di negara adidaya tersebut.

Amerika saat ini masih memimpin rekor dengan angka 8.770.951 kasus positif corona. Jumlah kematian sudah mencapai 229.570 jiwa atau rata-rata 692 per juta penduduk. Angka tersebut berarti sekitar 14 kali lebih buruk dari catatan Indonesia pada saat ini.

Dua negara teratas dalam grafik Financial Times yaitu Vietnam dan China kebetulan adalah negara komunis. Lantas apakah ada hubungan antara ideologi dengan tingkat keberhasilan penanganan Covid-19?

Baik implisit maupun eksplisit Financial Times tidak menyebutkan faktor ideologi sebagai penunjang utama keberhasilan penanganan wabah. Yang dikatakan yaitu, ada hubungan antara kemampuan negara dalam mengontrol pandemi dengan seberapa parah dampak ekonomi yang diakibatkannya.

Jadi secara umum asumsinya adalah, apa pun ideologi satu negara jika ia mampu mengendalikan wabah maka kerugian ekonomi dapat ditekan seminimal mungkin.

Vaksin jadi instrumen politik

Pernyataan Fadli Zon yang menyebut istilah vaksin palu arit itu bernuansa politik. Agak-agak oportunis seperti Bolsonaro yang mencoba mengelabui Brasil atas kelalaiannya mencegah wabah.

Sebagai salah satu ikhtiar pencegahan, sudah seharusnya Presiden Jokowi mengusahakan ketersediaan vaksin melalui berbagai alternatif. Hal itu tidak terlepas dari keinginan untuk menuntaskan corona secepat mungkin. Kebutuhan vaksin Indonesia menurut Menkes Terawan diperkirakan  sekitar 352 juta dosis.

Selain berusaha menyediakan sendiri lewat Bio Farma atau Kalbe, pemerintah juga mencari peluang bekerja sama dengan negara lain. Tidak hanya China, sejumlah negara dijajagi seperti  Inggris, Korea Selatan, dan Jepang.

Ada pula upaya lain lewat jalur organisasi internasional seperti CEPI (Coalition for Epidemic and Preparedness Innovations) dan GAVI (Global Alliance for Vaccine and Immunization).

Dengan langkah-langkah tersebut kita dapat melihat bahwa usaha Jokowi jelas lebih saintifik. Jauh lebih masuk akal daripada Bolsonaro dan Trump. Parameter-parameter dan kriteria keberhasilan yang ditetapkan Satgas Covid juga lebih terukur meski tidak sepenuhnya sempurna. Hal-hal yang kurang ini yang kemudian perlu diperbaiki.

Namun menghubungkan vaksin dengan ideologi seperti yang dikatakan Fadli Zon adalah tindakan irasional. Seperti aksi-aksi massa belakangan yang cenderung asal beda dengan pemerintah.

Ketika Indonesia menghindari lockdown untuk memberi ruang bagi aktivitas ekonomi, kebijakan tersebut dijegal habis-habisan. Sejumlah kepala daerah tanpa koordinasi dengan pemerintah pusat membuat kebijakan lockdown.

Belakangan para pendukung lockdown seperti menjilat ludah sendiri. Trend sekarang yaitu, mereka mengadakan kegiatan terbuka tanpa memperhatikan protokol kesehatan era pandemi.

Contohnya adalah roadshow deklarasi KAMI dan demo-demo yang marak di beberapa kota akhir-akhir ini. Selain itu pernah pula ada polemik acara dangdutan pejabat DPRD di Tegal bulan September lalu. Padahal sebelumnya pada bulan Maret, Pemkot Tegal menetapkan sendiri kebijakan lockdown secara sepihak.

Kegiatan massal yang mengundang kerumunan itu mempunyai dua implikasi jika ditinjau dari sudut pandang pandemi. Kedua implikasi tersebut pada akhirnya bermuara pada politik juga ujung-ujungnya.

Implikasi pertama dari kegiatan massal terbuka adalah penyebaran virus yang tidak terkendali. Atau, meskipun terkendali tetapi durasinya menjadi lebih panjang dari yang seharusnya. Apalagi jika kegiatan tersebut dilakukan tanpa protokol kesehatan yang ketat.

Implikasi selanjutnya yang kedua berhubungan erat dengan yang pertama tadi. Seperti  kesimpulan Financial Times, semakin buruk Covid-19 ditangani maka semakin parah dampak ekonomi yang terjadi. 

Bagaimana pengendalian wabah yang buruk dapat terjadi tidak memperhitungkan apakah akibat kelalaian pemerintah atau sikap masyarakat yang tidak kooperatif. Program pemerintah bisa gagal berjalan jika ada yang mengompori massa untuk bertindak destruktif atau mengadakan pembangkangan.

Soal bagaimana corona itu menggerogoti ekonomi, dapat dijelaskan pula melalui 2 cara.

Pertama, akibat biaya pengobatan dan assesmennya --seperti tracing dan mitigasi-- yang mahal. Kedua, akibat lumpuhnya kegiatan ekonomi akibat pembatasan aktivitas warga.

Muara dari kesemuanya itu adalah anggaran Covid-19 dan PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) menjadi sia-sia. Padahal jumlahnya tidak sedikit, mencapai sekitar Rp 700 triliun. Jika dihitung dengan kolapsnya kegiatan ekonomi sudah pasti mencapai angka ribuan triliun. Ekornya adalah PHK massal dan pengangguran.

Oposan cenderung menuju ke arah sana. Jokowi diharapkan gagal mengelola pandemi corona seperti Trump;  tetapi di sisi yang lain citra Jokowi dimanipulasi seolah-olah dekat dengan komunis China.

Begitulah politik, apa pun bisa dimanipulasi. Istilah vaksin palu arit; demo omnibus law; deklarasi antikomunis; bagi politisi sesat semuanya bisa menjadi alat. Mereka, segelintir politisi yang tidak punya hati dan hanya berorientasi kekuasaan semata.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun