Jadi secara umum asumsinya adalah, apa pun ideologi satu negara jika ia mampu mengendalikan wabah maka kerugian ekonomi dapat ditekan seminimal mungkin.
Vaksin jadi instrumen politik
Pernyataan Fadli Zon yang menyebut istilah vaksin palu arit itu bernuansa politik. Agak-agak oportunis seperti Bolsonaro yang mencoba mengelabui Brasil atas kelalaiannya mencegah wabah.
Sebagai salah satu ikhtiar pencegahan, sudah seharusnya Presiden Jokowi mengusahakan ketersediaan vaksin melalui berbagai alternatif. Hal itu tidak terlepas dari keinginan untuk menuntaskan corona secepat mungkin. Kebutuhan vaksin Indonesia menurut Menkes Terawan diperkirakan  sekitar 352 juta dosis.
Selain berusaha menyediakan sendiri lewat Bio Farma atau Kalbe, pemerintah juga mencari peluang bekerja sama dengan negara lain. Tidak hanya China, sejumlah negara dijajagi seperti  Inggris, Korea Selatan, dan Jepang.
Ada pula upaya lain lewat jalur organisasi internasional seperti CEPI (Coalition for Epidemic and Preparedness Innovations) dan GAVI (Global Alliance for Vaccine and Immunization).
Dengan langkah-langkah tersebut kita dapat melihat bahwa usaha Jokowi jelas lebih saintifik. Jauh lebih masuk akal daripada Bolsonaro dan Trump. Parameter-parameter dan kriteria keberhasilan yang ditetapkan Satgas Covid juga lebih terukur meski tidak sepenuhnya sempurna. Hal-hal yang kurang ini yang kemudian perlu diperbaiki.
Namun menghubungkan vaksin dengan ideologi seperti yang dikatakan Fadli Zon adalah tindakan irasional. Seperti aksi-aksi massa belakangan yang cenderung asal beda dengan pemerintah.
Ketika Indonesia menghindari lockdown untuk memberi ruang bagi aktivitas ekonomi, kebijakan tersebut dijegal habis-habisan. Sejumlah kepala daerah tanpa koordinasi dengan pemerintah pusat membuat kebijakan lockdown.
Belakangan para pendukung lockdown seperti menjilat ludah sendiri. Trend sekarang yaitu, mereka mengadakan kegiatan terbuka tanpa memperhatikan protokol kesehatan era pandemi.
Contohnya adalah roadshow deklarasi KAMI dan demo-demo yang marak di beberapa kota akhir-akhir ini. Selain itu pernah pula ada polemik acara dangdutan pejabat DPRD di Tegal bulan September lalu. Padahal sebelumnya pada bulan Maret, Pemkot Tegal menetapkan sendiri kebijakan lockdown secara sepihak.