Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kompasiana 11 Tahun, Berbicara Soal Kompetitor dan Tantangan Hari Ini

2 November 2019   03:44 Diperbarui: 2 November 2019   05:57 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompetisi (dynamicsbusiness.com.au).

Sepengamatan penulis, hingga saat ini ketika Kompasiana memasuki usia ke-11 tahun, sudah ada 3 blog keroyokan yang didirikan oleh Kompasianer, di luar Kompasiana tentunya.

Pertama adalah BRID, Blogger Reporter Indonesia, yang didirikan oleh Hazmi Srondol dan kawan-kawan. Berikutnya, Seword  yang pada mulanya berupa blog pribadi Alan Budiman atau Alifurahman. Kemudian yang ketiga yaitu Pepnews; yang dibangun oleh founder Kompasiana juga, Kang Pepih atau Pepih Nugraha.

BRID hari ini sudah susah melacaknya, walaupun para penulisnya mungkin masih aktif menulis secara infirodli, jalan sendiri-sendiri. Sedangkan Seword dan Pepnews saat ini cukup eksis, baik dari segi jumlah penulis, produktivitas, maupun tingkat keterbacaan artikel-artikelnya.

Seword dikenal sebagai wadah para pendukung Jokowi garis keras dengan potensi basis pembaca yang tentunya cukup besar. Sedangkan Pepnews terampil dalam  membangun relasi dengan penulis-penulis andal karena faktor jaringan Kang Pepih yang nota bene mantan jurnalis. Kemampuannya mengkurasi tulisan juga tentu tidak perlu diragukan lagi.

Selain tiga yang disebut tadi mungkin masih ada platform serupa yang lain. Tetapi beberapa titik persinggungan  dengan Kompasiana membuat mereka bisa kita himpun dalam satu klaster di mana potensi kompetisi di masa yang akan datang mungkin terjadi (atau sudah?).

Kompetisi sendiri bukanlah hal yang tabu untuk dibicarakan. Manusia bertahan hidup hingga hari ini karena sudah terasah naluri dan kemampuannya untuk berkompetisi.

Titik persinggungan pertama yang dimaksud yaitu  format platform yang mengakomodasi para penulis untuk menuangkan ide, gagasan, unek-unek, laporan peristiwa, dan opini (khususnya politik), dalam bentuk tulisan.

Baik Kompasiana, Seword, maupun Pepnews punya kelebihan dan kekurangan masing-masing yang menjadikan menjadikan keberadaan dirinya sebagaimana masing-masing seperti yang bisa kita lihat sekarang ini. Walaupun mungkin dari segi penulis punya level dan ukuran loyalitasnya sendiri, tetapi dari segi pembaca (baca: konsumen) kondisinya relatif lebih cair.

Ketiganya memiliki pembaca -- dan kerap beririsan sebagai penulis juga-- yang cukup kritis dalam menilai apa yang disajikan. Mayoritas pembaca adalah silent reader yang tidak mudah untuk ditebak  bagaimana selera literasi mereka.

Ketika laga pemilu berlangsung sengit di tahun-tahun politik, Kompasiana memiliki keunggulan relatif  dari segi kesediaan membuka ruang bagi kubu-kubu yang berseberangan secara politik.

Meskipun dianggap sarang Jokower, pada kenyataannya  pada pilpres kemarin beberapa Kompasianer juga banyak yang membela Prabowo. Artinya ada ruang kemungkinan yang sama bagi semua anggota, terlepas dari afiliasi politiknya. Kondisi tersebut  juga tampaknya menjadi kebijakan di Pepnews  namun sulit dibayangkan akan terjadi di Seword.

Kemudian persinggungan berikutnya yaitu segi kemandirian atau independensi.

Kompasiana yang terpisah dari kompas.com, seperti halnya Seword atau Pepnews yang memiliki website  sendiri, memungkinkan  penulis untuk memperoleh 'kemerdekaan' dalam mengungkapkan gagasan tanpa campur tangan pihak korporasi.

Wartawan kompas.com pasti dituntut untuk menghasilkan karya tulis atau produk jurnalistik dengan standar tinggi karena mereka digaji bulanan. Tetapi Kompasianer memiliki dan diberi keleluasaan untuk membuat produk  tulisan yang secara harfiah bisa dikategorikan kurang atau bahkan tidak bermutu.

Apakah itu buruk?

Tergantung dari sudut mana kita memandang.

Standar mutu tulisan yang bervariasi memang dapat menyebabkan Kompasiana dengan tagline beyond blogging ini dapat terpengaruh secara pencitraan. Terdegradasi, katakanlah begitu.

Ibarat  biji kopi; ada yang sudah matang pohon merah  merona kulitnya, ada yang masih hijau, ada juga yang seperti habis kena hama. Semua bercampur menjadi satu.

Tetapi di sisi lain, kondisi tersebut juga membuka peluang bagi penulis pemula untuk berani dan tidak malu bergabung. Mereka dapat ikut belajar menulis, beropini atau praktik citizen journalisms.

Tidak masuk akal jika Kompasianer baru diharapkan meraih level pencapaian yang setara anggota lama atau bahkan para mantan juru warta profesional. Meskipun lamanya menjadi anggota juga bukan ukuran untuk menilai mutu hasil karya yang dihasilkan.

Dalam platform blog berjamaah, agar proses pembelajaran kepenulisan berlangsung progresif, memang perlu strategi khusus dan konsisten dalam pengelolaan.

Admin sebagai pengelola memiliki alat kelengkapan untuk memotivasi penulis. Dalam hal ini, karena keanggotaan yang bersifat sukarela, admin hanya punya carrot tanpa dibekali stick.

Bentuk carrot sebagai wujud apresiasi atau reward di Kompasiana di antaranya yaitu pemilihan/ pelabelan artikel utama/ headline dan pilihan/ highlight. Selain itu, Kompasianer berkesempatan mengikuti acara-acara tertentu yang cukup prestisius dan  juga  kompetisi dalam ajang lomba dengan proses penjurian tersendiri.

Inovasi reward itu kini semakin menarik; secara kuantitatif hingga bulan ini berlangsung pemberian K-reward berbasis angka keterbacaan atau pageviews yang bisa dirupiahkan.

Selain di Kompasiana metode tersebut juga sudah dilakukan Seword namun sepertinya belum terjadi di Pepnews. Format monetisasi ini menurut COO Kompasiana, Nurulloh, akan terus dikembangkan agar semakin kompetitif di masa yang akan datang.

Satu daya tarik tersendiri bagi Kompasianer soal K-reward ini.

Soal uang sebagai pengganti biaya kuota mungkin iya, tetapi ternyata ada sisi lain juga dari mekanisme  pengumuman perolehan K-reward yang berlangsung tiap bulan itu.

Jika kita membaca komentar-komentar yang muncul, terasa ada unsur kebanggaan dan ketegangan kompetisi yang melibatkan endorfin dan adrenalin; ketika nama-nama peraih diurutkan secara ranking dari yang tertinggi hingga yang terendah. Keseruan yang agaknya hanya dapat ditandingi oleh riuhnya penyusunan kabinet beberapa waktu lalu.

Seword memang punya juga format monetisasi serupa, tetapi siapa juara lima besar teratasnya agaknya  hanya diketahui di lingkungan internal saja. Tidak diumumkan secara terbuka seperti di Kompasiana.

Belakangan admin memberlakukan peraturan baru di mana penghitungan pageviews artikel hanya dilakukan pada artikel berlabel pilihan saja. Artikel headline memperoleh double reward.

Peraturan  tersebut tentu bermaksud memotivasi agar penulis tidak melupakan aspek kualitas demi mengejar kuantitas. Sesuatu yang sudah bukan persoalan bagi penulis mahir dan terverifikasi biru. Tetapi bagi para Kompasianer yang masih dalam proses perjuangan, baik dari segi mutu maupun perolehan angka minimal views (yang 3000 itu), aturan tersebut bisa jadi bumerang  yang dapat mematahkan semangat.

Soal tema sebagai magnet penarik, tidak dapat dimungkiri jika kanal politik merupakan pilihan favorit penulis untuk memperoleh banyak pembaca. Fenomena yang barangkali  terjadi secara alami karena hal serupa juga juga berlangsung di Pepnews dan apalagi di Seword. Maksudnya, memang topik politik itu yang saat ini sedang hangat digemari sehingga seolah-olah selalu mendominasi segmen tulisan terpopuler.

Hal ini bisa menjadi bahan analisa ilmiah, apakah benar ada kecenderungan netizen mencari tulisan opini politik pembanding media mainstream? Jika ada, seberapa besarkah persentasenya, dan seberapa kuat pengaruhnya?

Fenomena tersebut juga sempat dikuliti media mainstream terutama Tempo dengan wacana buzzer politik yang menimbulkan banyak pro dan kontra.

Soal kecenderungan memilih kanal politik bagi Kompasianer sendiri mungkin  bisa benar untuk sebagian, tetapi tidak untuk beberapa kasus tertentu.

Munculnya Kompasianer yang memperoleh pageviews luar biasa dari kanal non-politik bisa mematahkan anggapan bahwa politik adalah tambang emas untuk meraih angka keterbacaan. Tinggal kejelian dan keunikan sudut pandang saja yang dibutuhkan agar  sebuah tulisan dapat memikat netizen tanpa unsur-unsur clickbait yang menyesatkan itu.

Lalu bagaimana seandainya Kompasiana tanpa K-reward?

"Wah jangan dong!", mungkin begitu keinginan sebagian besar warga.

Tetapi adalah hal realistis dan juga sesuatu yang menantang justru, untuk menggali apa yang bisa kita peroleh dari beraktivitas di Kompasiana ini selain hanya monetisasi artikel (dan pahala).

Mutu tulisan adalah salah satu hal yang pantas diperjuangkan penulis di mana admin bertindak sebagai kurator untuk menentukannya. Menjadi persoalan juga sebenarnya bagaimana faktor kedalaman admin dalam menguasai seluk beluk masing-masing kanal. Apakah hanya sebatas unsur-unsur ekstrinsik ataukah juga hingga esensi gagasan suatu tulisan.

Tetapi terlepas dari hal itu, penulis sebaiknya percaya bahwa karya tulis yang baik, yang enak dibaca, satu ketika dapat mengantarkan penulisnya pada hal yang tak terduga sebelumnya. Tawaran membuat buku misalnya.

Bahkan, tanpa adanya  tawaran pun Kompasianer bisa membuka jalan sendiri untuk merintis karya penulisan berbentuk buku seperti yang sudah dilakukan sejak dulu. Prosesnya dapat dikerjakan bertahap sesuai kemampuan. Asal jangan terlena dan kemudian tidak berjalan kemana-mana.

Itu hanya beberapa contoh motivasi saja. Ada banyak alasan dan kepentingan bagi ribuan Kompasianer untuk terus berkarya dan menulis buah gagasannya hari demi hari. Tentu tidak melulu soal nilai kapital yang dapat dengan mudah dikalkulasi.

Pengelola Kompasiana, menapaki dekade kedua perjalanan milestone-nya, pasti sudah punya roadmap inovasi agar tetap mampu berada di depan sebagai leader.

Melihat ke sisi dalam, mempertahankan keseimbangan antara jumlah komunitas (penulis dan pembaca)  dengan peningkatan mutu produknya sudah pasti bukan pekerjaan ringan. Sementara, mencermati perkembangan yang ada di luar juga merupakan satu keniscayaan yang tidak boleh diabaikan.

Permasalahan dan kompetisi besok lusa bentuknya mungkin akan sama sekali berbeda dengan apa yang dapat kita bayangkan pada hari ini. Tapi tantangan bukan untuk dihindari, karena hal itulah yang menjadikan innovator-inovator besar lahir di era digital  sekarang ini.

"Selamat ulang tahun ke-11 Kompasiana. Dirgahayu dan semoga sukses untuk kita semua!" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun