Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Transformative Human Development Coach | Penulis 4 Buku

Agung MSG – 🌱 Transformative Human Development Coach ✨ Mendampingi profesional bertumbuh lewat self-leadership, komunikasi, dan menulis untuk reputasi. 📚 Penulis 4 buku dan 1.400+ artikel inspiratif di Kompasiana. 💡 Penggagas HAI Edumain – filosofi belajar dan berkarya dengan hati, akal, dan ilmu. 📧 agungmsg@gmail.com | 🔗 bit.ly/blogagungmsg | 📱 @agungmsg 🔖 #TransformativeCoach #LeadershipWriting #GrowWithAgung “Menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi merawat jiwa dan meninggalkan jejak makna.”

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Psikologi untuk Semua, Indonesia Sehat Jiwa

11 Oktober 2025   13:36 Diperbarui: 11 Oktober 2025   13:39 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sehat jiwa adalah fondasi produktivitas dan kebahagiaan bangsa.| t3.gstatic.com

"Sehat jiwa adalah kunci agar harapan tumbuh, kerja bermakna, dan hidup terasa layak dijalani."

Bisakah kita membayangkan, bila separuh tenaga kerja Indonesia datang ke kantor dengan tubuh sehat, tetapi jiwanya lemah? Hatinya lelah, cemas, atau putus asa. Tak terbayang, apa jadinya bangsa ini?

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2025 mengingatkan kita bahwa krisis mental bukan sekadar angka statistik. Melainkan itu denyut kehidupan sehari-hari dan cerminan kualitas hidup kita. Baik itu di ruang kelas, di meja kerja, maupun di layar ponsel kita. Tema globalnya menyoroti kesehatan jiwa dalam situasi bencana, sementara Indonesia menekankan pentingnya "Sehat Jiwa dalam Segala Situasi."

Namun, apakah kita sudah benar-benar siap menjadikan kesehatan mental sebagai hak semua orang, bukan sekadar isu kalangan tertentu?

Sehat Jiwa dalam Segala Situasi

Tanggal 10 Oktober setiap tahun dunia memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Tema "Sehat Jiwa dalam Segala Situasi." ini mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik dalam segala kondisi. Baik saat tenang, sibuk, maupun menghadapi tekanan, serta mendorong masyarakat untuk peduli, saling mendukung. Juga berani mencari bantuan saat dibutuhkan

Tahun ini, momentum tersebut terasa semakin penting bagi Indonesia. Di tengah derasnya arus digital, kompetisi hidup yang kian menekan, serta jejak panjang pandemi yang masih terasa, isu kesehatan mental bukan lagi persoalan individu belaka, melainkan tantangan kolektif bangsa.

Sebagai seorang insan pembelajar, saya percaya bahwa "Psikologi untuk Semua" bukan sekadar slogan. Ia adalah gerakan moral, ilmiah, dan sosial untuk memastikan bahwa setiap warga negara berhak atas kesejahteraan psikologis. Mulai dari pelajar hingga pekerja, dari ibu rumah tangga hingga pejabat publik.

Realitas Kesehatan Jiwa di Indonesia

Realitas kesehatan jiwa di Indonesia tahun 2025 menunjukkan tantangan serius. Betapa tidak, 1 dari 5 orang Indonesia mengalami gejala gangguan mental seperti kecemasan dan depresi berat. Data Kementerian Kesehatan menyebutkan peningkatan masalah kesehatan mental pada remaja usia 15-24 tahun, termasuk depresi, kecemasan, PTSD, dan ADHD. Angka bunuh diri remaja juga cukup tinggi. Mereka membutuhan akan pemeriksaan kesehatan mental dan deteksi dini untuk mencegah masalah lebih besar. Sungguh, ini juga sebuah kebutuhan yang mendesak.

Meski kesadaran meningkat, stigma sosial masih menjadi penghalang besar untuk mencari bantuan. Akses ke layanan kesehatan mental masih terbatas dan terkonsentrasi di daerah perkotaan dan Pulau Jawa-Bali. Sementara di daerah terpencil,  mengalami kesulitan akses yang signifikan. Pemerintah telah meluncurkan program pemeriksaan kesehatan gratis dan memperluas layanan psikologis di puskesmas, serta mendukung digitalisasi layanan melalui aplikasi konseling online. Namun, anggaran kesehatan mental masih kurang dari 5% dari total APBN sektor kesehatan.

Digitalisasi dan program edukasi mental sejak dini menjadi solusi penting untuk mengatasi masalah ini. Disisi lain, tantangan internet dan literasi digital juga masih ada di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Kerja sama multisektor dan inovasi telemedicine memberikan harapan yang cukup menggembirakan. Khususnya dalam memperbaiki akses dan kualitas layanan kesehatan mental di Indonesia.

Data Kementerian Kesehatan RI (2023) menunjukkan bahwa 1 dari 10 orang Indonesia mengalami gangguan mental emosional, sementara 1 dari 20 hidup dengan depresi. WHO menegaskan, depresi kini menjadi penyebab utama disabilitas global, bahkan lebih besar dampaknya dibanding penyakit fisik tertentu.

Namun, yang lebih memprihatinkan adalah tingginya angka stigma dan "silent suffering". Banyak masyarakat memilih diam, enggan mencari bantuan, karena takut dicap lemah, "gila", atau tidak beriman. Padahal, kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Tanpa pikiran yang sehat, potensi prestasi manusia akan terhambat.

Kesenjangan akses juga menjadi persoalan nyata. Rasio psikolog di Indonesia baru sekitar 1:500.000 penduduk, jauh dari standar ideal WHO yang merekomendasikan 1:30.000. Ini berarti jutaan orang masih belum punya akses mudah terhadap layanan profesional.

Psikologi untuk Semua: Perspektif Prestatif

Apa makna "Psikologi untuk Semua"? Bagi saya, ini adalah kesadaran kolektif bahwa ilmu psikologi tidak boleh elitis, hanya milik ruang akademis atau ruang terapi berbayar. Psikologi harus hadir di sekolah, di kantor, di ruang keluarga, bahkan di ruang digital yang kita tempati setiap hari.

Pendekatan psikologi prestatif mengajarkan bahwa kesehatan mental bukan hanya soal menghindari gangguan. Tetapi juga tentang membangun daya tahan psikologis (resilience), optimisme realistis, dan mindset bertumbuh. Inilah yang membantu individu tidak hanya bertahan, tetapi juga berprestasi secara sehat di tengah tekanan hidup.

Sebagai contoh, siswa yang diajarkan teknik regulasi emosi sederhana terbukti lebih tahan terhadap stres ujian. Pekerja yang dilatih keterampilan coping dapat menjaga produktivitas sekaligus kesejahteraan. Dan orang tua yang memahami psikologi perkembangan, mampu mendampingi anak tumbuh dengan percaya diri.

Singkatnya, psikologi bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar.

Tantangan yang Harus Kita Tembus

Meski kesadaran mulai tumbuh, ada empat tantangan besar:
- Stigma sosial, yaitu anggapan bahwa mencari bantuan psikolog adalah tanda kelemahan.
- Budaya diam, yaitu adanya kecenderungan menyembunyikan masalah jiwa karena takut menurunkan martabat keluarga.
- Akses terbatas, dimana jumlah tenaga profesional masih jauh dari kebutuhan.
- Tekanan sosial-ekonomi, mulai dari PHK, urbanisasi, hingga kesenjangan digital, semua memicu kerentanan mental.

Pasca pandemi, kita melihat "second pandemic": lonjakan stres, kecemasan, burnout, bahkan meningkatnya angka bunuh diri. Ini alarm keras yang tidak bisa kita abaikan. Apalagi ditambah dengan gelombang PHK massal, disrupsi teknologi dan AI, serta keadaan perekonomian yang belum pulih.

Gerakan Kolektif Menuju Indonesia Sehat Jiwa

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Ada banyak hal yang bisa kita lakukan.
* Empati dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari mendengar tanpa menghakimi, mengucapkan kalimat suportif, hingga menghapus candaan merendahkan terkait kesehatan jiwa.
* Edukasi psikologi dasar. Sekolah dan tempat kerja perlu menyisipkan literasi kesehatan mental, bukan hanya kurikulum akademik.
* Normalisasi konseling. Pergi ke psikolog seharusnya sama wajar dengan pergi ke dokter gigi.
* Kebijakan publik pro-kesehatan jiwa. Pemerintah dan DPR perlu memperkuat implementasi UU Kesehatan yang mengakui kesehatan mental sebagai hak dasar.
* Gerakan komunitas. LSM, organisasi keagamaan, dan komunitas digital dapat menjadi ruang aman berbagi dan saling menguatkan.

Komunitas BIP (Belajar Ilmu Psikologi) misalnya, hadir untuk turut memberikan kontribusinya bagi kesehatan jiwa di Indonesia. Visinya: "Mewujudkan Indonesia Melek Ilmu Psikologi 2030 untuk Masyarakat Sehat Mental, Cerdas Emosional, dan Berdaya Sosial."

Untuk mewujudkan visi tersebut, BIP mengusung Tiga Pilar Utama:
1. Sehat Mental untuk membangun kesadaran & edukasi kesehatan jiwa.
2. Cerdas Emosional dengan menumbuhkan keterampilan mengelola diri & relasi.
3. Berdaya Sosial yang menggerakkan kolaborasi & kontribusi nyata untuk masyarakat.

Lebih dari sekadar komunitas, BIP kini berkolaborasi dengan InHA (International Healing Alliance) dan berafiliasi global. Harapannya, gerakan literasi psikologi yang dibangun memiliki legitimasi, jaringan, dan daya jangkau yang semakin luas.

Dengan langkah-langkah sederhana namun konsisten, kita bisa menciptakan ekosistem yang mendukung kesehatan jiwa bersama.
Indonesia sehat jiwa lahir dari kepedulian bersama

Refleksi: Sehat Jiwa, Sehat Bangsa

Kesehatan jiwa bukan urusan sebagian orang, melainkan fondasi produktivitas bangsa. Indonesia tidak mungkin meraih bonus demografi jika generasi mudanya cemas, depresi, atau kehilangan harapan.

Saya percaya, psikologi harus dihadirkan untuk semua orang, tanpa diskriminasi kelas, usia, atau latar belakang. Seperti kata Viktor Frankl, seorang psikiater yang selamat dari kamp konsentrasi: "Ketika kita tidak lagi mampu mengubah situasi, tantangan terbesar adalah mengubah diri kita sendiri."

Kini tantangan kita bukan hanya mengubah diri, tetapi juga mengubah sistem dan budaya. Dari ruang keluarga hingga ruang kebijakan, mari bersama-sama menegakkan satu pesan:

Indonesia sehat jiwa bukan mimpi, tetapi hasil dari kepedulian kolektif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun