Data Kementerian Kesehatan RI (2023) menunjukkan bahwa 1 dari 10 orang Indonesia mengalami gangguan mental emosional, sementara 1 dari 20 hidup dengan depresi. WHO menegaskan, depresi kini menjadi penyebab utama disabilitas global, bahkan lebih besar dampaknya dibanding penyakit fisik tertentu.
Namun, yang lebih memprihatinkan adalah tingginya angka stigma dan "silent suffering". Banyak masyarakat memilih diam, enggan mencari bantuan, karena takut dicap lemah, "gila", atau tidak beriman. Padahal, kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Tanpa pikiran yang sehat, potensi prestasi manusia akan terhambat.
Kesenjangan akses juga menjadi persoalan nyata. Rasio psikolog di Indonesia baru sekitar 1:500.000 penduduk, jauh dari standar ideal WHO yang merekomendasikan 1:30.000. Ini berarti jutaan orang masih belum punya akses mudah terhadap layanan profesional.
Psikologi untuk Semua: Perspektif Prestatif
Apa makna "Psikologi untuk Semua"? Bagi saya, ini adalah kesadaran kolektif bahwa ilmu psikologi tidak boleh elitis, hanya milik ruang akademis atau ruang terapi berbayar. Psikologi harus hadir di sekolah, di kantor, di ruang keluarga, bahkan di ruang digital yang kita tempati setiap hari.
Pendekatan psikologi prestatif mengajarkan bahwa kesehatan mental bukan hanya soal menghindari gangguan. Tetapi juga tentang membangun daya tahan psikologis (resilience), optimisme realistis, dan mindset bertumbuh. Inilah yang membantu individu tidak hanya bertahan, tetapi juga berprestasi secara sehat di tengah tekanan hidup.
Sebagai contoh, siswa yang diajarkan teknik regulasi emosi sederhana terbukti lebih tahan terhadap stres ujian. Pekerja yang dilatih keterampilan coping dapat menjaga produktivitas sekaligus kesejahteraan. Dan orang tua yang memahami psikologi perkembangan, mampu mendampingi anak tumbuh dengan percaya diri.
Singkatnya, psikologi bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar.
Tantangan yang Harus Kita Tembus
Meski kesadaran mulai tumbuh, ada empat tantangan besar:
- Stigma sosial, yaitu anggapan bahwa mencari bantuan psikolog adalah tanda kelemahan.
- Budaya diam, yaitu adanya kecenderungan menyembunyikan masalah jiwa karena takut menurunkan martabat keluarga.
- Akses terbatas, dimana jumlah tenaga profesional masih jauh dari kebutuhan.
- Tekanan sosial-ekonomi, mulai dari PHK, urbanisasi, hingga kesenjangan digital, semua memicu kerentanan mental.
Pasca pandemi, kita melihat "second pandemic": lonjakan stres, kecemasan, burnout, bahkan meningkatnya angka bunuh diri. Ini alarm keras yang tidak bisa kita abaikan. Apalagi ditambah dengan gelombang PHK massal, disrupsi teknologi dan AI, serta keadaan perekonomian yang belum pulih.
Gerakan Kolektif Menuju Indonesia Sehat Jiwa
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Ada banyak hal yang bisa kita lakukan.
* Empati dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari mendengar tanpa menghakimi, mengucapkan kalimat suportif, hingga menghapus candaan merendahkan terkait kesehatan jiwa.
* Edukasi psikologi dasar. Sekolah dan tempat kerja perlu menyisipkan literasi kesehatan mental, bukan hanya kurikulum akademik.
* Normalisasi konseling. Pergi ke psikolog seharusnya sama wajar dengan pergi ke dokter gigi.
* Kebijakan publik pro-kesehatan jiwa. Pemerintah dan DPR perlu memperkuat implementasi UU Kesehatan yang mengakui kesehatan mental sebagai hak dasar.
* Gerakan komunitas. LSM, organisasi keagamaan, dan komunitas digital dapat menjadi ruang aman berbagi dan saling menguatkan.
Komunitas BIP (Belajar Ilmu Psikologi) misalnya, hadir untuk turut memberikan kontribusinya bagi kesehatan jiwa di Indonesia. Visinya: "Mewujudkan Indonesia Melek Ilmu Psikologi 2030 untuk Masyarakat Sehat Mental, Cerdas Emosional, dan Berdaya Sosial."