"AI akan setia menjadi mitra yang mempercepat langkah bisnis. Tetapi, hanya kepemimpinan yang jelas arah dan visinya yang mampu menuntunnya menuju hasil terbaik."
Beberapa waktu lalu saya berbincang dengan seorang pemilik kafe kecil di Bandung. Ia mengeluh, “Katanya AI bisa bantu bisnis, tapi kok buat saya biasa saja? Paling cuma bisa bikin caption Instagram.” Keluhan ini bukan hal baru. Banyak pelaku UMKM di Indonesia merasakan hal serupa. Mereka sudah mencoba AI, tetapi hasilnya jauh dari harapan.
Sementara itu, di sisi lain dunia bisnis, raksasa seperti Amazon, Google, dan perusahaan Fortune 500 lain sudah menjadikan AI sebagai mesin penggerak utama. Bukan sekadar alat bantu, melainkan partner strategis. Mereka melesat, sementara UMKM tertinggal. Malah ada yang bilang UMKM kita ketinggalan 10 tahun. Benarkah? Entahlah !
Ilusi “AI Tidak Bekerja”
Masalahnya seringkali bukan pada teknologinya, melainkan pada cara penggunaannya. Sebuah riset IBM (2024) menunjukkan 63% UMKM Indonesia sebenarnya siap mengadopsi AI, tetapi sebagian besar masih menggunakannya hanya untuk tugas-tugas sederhana. Mulai dari menulis konten, menjawab pertanyaan standar pelanggan pakai chatbot, sampai membuat laporan singkat.
Padahal, menurut Andrew Ng, pionir AI di Stanford University, “AI adalah listrik baru: nilainya muncul bukan ketika Anda hanya menyalakan lampu, tetapi ketika seluruh sistem bisnis dijalankan dengannya.”
Perusahaan besar sudah mempraktikkan ini. Mereka memakai AI untuk analisis prediktif, segmentasi cerdas, optimalisasi supply chain, hingga pengambilan keputusan berbasis data real-time. Hasilnya? Jurang kompetitif kian terbuka dan menganga: UMKM sibuk di permukaan, sementara korporasi bermain di level strategi.
Jurang Kompetitif yang Kian Lebar
Mari lihat data terbaru:
* 99% perusahaan Fortune 500 sudah menggunakan AI dalam operasional mereka.
* 77% UMKM Indonesia telah mencoba atau bereksperimen dengan AI (Media Indonesia, 2024).
* 97% UMKM yang konsisten menerapkan AI melaporkan peningkatan pendapatan (Media Indonesia, 2024).
* Namun, hanya 38,7% UMKM yang benar-benar memanfaatkan teknologi digital, termasuk AI, menurut Kemkominfo (2023).
Angka-angka ini menggambarkan paradoks. Banyak UMKM mencoba AI, tapi sebagian masih berhenti di level “alat tambahan”, bukan “tim digital”. Perusahaan besar justru menganggap AI sebagai kolaborator, yang bisa berpikir, menganalisis, dan mengeksekusi.
Dari AI Tools ke Agentic AI
Inilah pergeseran penting yang perlu dipahami. Ada perbedaan besar antara AI Tools dan Agentic AI.
* Tools bekerja sekali pakai. Seperti kalkulator: masukkan angka, keluar hasil.
* Agents berperan seperti konsultan bisnis: mereka bisa merencanakan, mengeksekusi, mengevaluasi, bahkan belajar dari pengalaman. Penulis sendiri pernah menggunakan N8N Alat Kecil yang Membawa Revolusi secara amat sederhana, hasilnya - setidaknya menurut saya - itu sungguh luar biasa.
Bayangkan seorang pengusaha UMKM punya “tim digital” yang bekerja 24 jam sehari. Membuat kampanye marketing, menganalisis tren pasar, mengelola interaksi pelanggan, hingga membantu mengembangkan produk baru. Semua itu bisa dilakukan oleh Agentic AI.