"Kualitas tulisan lahir dari jam latihan, bukan dari mitos bakat."
Dulu, saat ingin menulis, saya pernah duduk cukup lama di depan layar. Kursor berkedip tak kenal lelah, tapi kepala saya justru kosong melompong. Di tengah keheningan itu, bisikan kecil sempat muncul menggoda: "Mungkin memang saya tak berbakat menulis..."
Apakah Anda juga pernah mengalaminya?
Sekarang bayangkan jika keyakinan itu ternyata keliru. Bagaimana jika menulis bukan soal bakat, melainkan soal jam latihan yang bisa dirancang dengan cerdas?
Jawaban ini saya temukan dalam buku The First 20 Hours: How to Learn Anything Fast karya Josh Kaufman. Ia membongkar mitos besar: untuk menguasai keterampilan baru, kita tidak perlu ribuan jam atau bakat alami. Yang dibutuhkan hanyalah 20 jam latihan terfokus untuk mencapai level "cukup mahir", termasuk keterampilan menulis.
Pertanyaannya kini cukup menantang. Bagaimana seorang penulis bisa menerapkan strategi 20 jam ini menjadi ritme 21 jam sebulan, agar skill menulis terus meningkat? Dari satu artikel ke artikel berikutnya.
Mitos yang Harus Dibongkar
Selama ini banyak orang percaya bahwa perlu 10.000 jam terbang agar bisa jadi penulis hebat. Orang-orang juga percaya, menulis adalah bakat bawaan, bukan keterampilan yang bisa dipelajari.
Kalau menurut saya, dua-duanya itu tidak sepenuhnya benar. Aturan "10.000 jam" yang dipopulerkan Malcolm Gladwell relevan untuk mereka yang ingin menjadi world-class expert. Namun, Kaufman menunjukkan bahwa untuk bisa menulis dengan baik, kita tidak harus menunggu 10 tahun. Tulisan yang cukup dinikmati pembaca, punya struktur yang jelas, dan konsisten terbit, itu saya sudah lebih dari cukup.
Yang kita perlukan, senyatanya adalah 3 syarat: niat baik, strategi belajar, dan latihan minimal 20 jam.
Konsep "21 Jam Sebulan"
Sekarang, yuk kita sederhanakan. 20 jam latihan yang disarankan Kaufman bisa kita ubah menjadi komitmen 21 jam per bulan. Atau sekitar 45 menit per hari 28 hari.