"Etika adalah pagar tak terlihat yang menjaga marwah pejabat publik. Saat pagar itu runtuh, kepercayaan bangsa pun ikut ambruk."
Kemampuan public speaking para senator dan pejabat tinggi di negeri ini, kini banyak disorot masyarakat. Beberapa kali mereka melakukan klarifikasi, dan meminta maaf. Akibatnya, netizen pun riuh membahas dan mengulasnya. Di titik ini, rasanya etika pejabat kita tampaknya belum kunjung naik kelas.
Kasus terbaru kini menyeret nama Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding. Mereka terekam tengah asyik bermain domino bersama mantan tersangka kasus pembalakan liar, Azis Wellang. Kejadian ini membuat kepercayaan publik kembali diuji.
Foto yang beredar jelas bukan sekadar potret santai. Ia menjadi simbol krisis etika kepublikan yang menggerus komitmen pemerintahan Prabowo-Gibran dalam agenda reformasi birokrasi dan tata kelola negara. Pertanyaan yang menggantung di kepala publik sederhana: apakah pejabat kita sungguh memahami arti kepatutan?
Lebih dari Sekadar Klarifikasi
Klarifikasi sudah disampaikan. Dua menteri itu menegaskan bahwa pertemuan mereka hanya sebatas silaturahmi kultural, tanpa muatan politik ataupun urusan kehutanan. Namun, publik tetap berhak mempertanyakan: apakah semua ini bisa semata-mata kebetulan?
Dalam prinsip Good Corporate Governance (GCG), bukan hanya conflict of interest nyata yang harus dihindari, tetapi juga potensi konflik dan persepsi publik atas konflik itu. Etika pejabat tak boleh diukur hanya dari hukum positif - yang bisa digugurkan lewat praperadilan atau SP3. Tetapi dari standar moral yang jauh lebih tinggi: kepantasan dan kepatutan.Â
Publik tidak puas dengan jawaban "tidak tahu latar belakang" atau "sekadar silaturahmi." Karena dalam kacamata risk management, persepsi adalah risiko. Begitu kepercayaan publik terguncang, reputasi pejabat dan kredibilitas pemerintahan ikut terancam.
Etika sebagai Pilar Kepemimpinan Publik
Seorang menteri bukan pekerja kantoran biasa. Ia adalah pejabat negara, simbol amanah, sekaligus representasi integritas bangsa. Duduk bersama mantan tersangka pembalakan liar - apalagi ketika kementerian terkaitlah yang mengeluarkan SP3 - menimbulkan red flag serius.
Di sinilah etika bernegara menjadi lebih penting daripada sekadar prosedur hukum. Etika berfungsi sebagai pagar tak terlihat yang melindungi pejabat dari jebakan kompromi. Ia menjadi tameng yang menjaga agar keputusan publik tidak terkontaminasi kepentingan pribadi maupun kelompok.
Tanpa pagar ini, negara bisa tergelincir dalam efek domino. Dimana satu kelalaian kecil bisa membuka ruang kompromi. Kemudian, satu kompromi membuka celah negosiasi, dan akhirnya kepercayaan publik runtuh bagaikan deretan kartu domino yang roboh beruntun.