"Gelar bisa dipajang di dinding, skor bisa dicetak di kertas, tapi kepercayaan rakyat hanya lahir dari keberpihakan yang tulus."
Suara Jalanan, Suara Linimasa
Tidak berlebihan rasanya, bila sekarang ini kepercayaan publik terhadap DPR berada di titik terendah sepanjang sejarah. Akibatnya di jalanan, rakyat di banyak kota dan kabupaten kembali bersuara. Bukan sekadar unjuk rasa, melainkan ekspresi ketidakpercayaan yang sudah lama menumpuk terhadap sikap, keberpihakan, dan kinerja DPR.
Akhir Agustus 2025, di depan Gedung DPR RI, demonstrasi ricuh pecah. Poster-poster bertuliskan tuntutan bertebaran. Suara toa memekakkan telinga, sementara barisan aparat berjaga kaku.
Di tengah hiruk pikuk itu, muncul suara lain. Bukan dari pengeras suara, melainkan dari lini masa media sosial. Netizen melontarkan usulan yang setengah serius, setengah satir: "Bagaimana kalau syarat masuk DPR minimal S2 dan TOEFL 500?"
Usulan ini bukan datang dari partai politik, bukan pula lembaga resmi. Murni dari publik yang gusar melihat kualitas wakil rakyat yang sering jauh dari harapan. Ide ini cepat menyebar, menjadi bahan diskusi, bahkan perdebatan. Apakah benar gelar akademis tinggi dan skor bahasa Inggris bisa menjamin anggota DPR lebih berkualitas? Ataukah ini sekadar teriakan frustrasi rakyat yang bosan diabaikan?
Latar Belakang: Kekecewaan yang Menumpuk
Sebenarnya, usulan ini bukan lahir di ruang kosong. Ia lahir dari akumulasi kekecewaan rakyat terhadap DPR. Lembaga yang secara teori adalah "rumah rakyat", tapi dalam praktik kerap dirasakan sebagai "benteng kekuasaan". Hanya sebagai "petugas partai", karena yang berkuasa sesungguhnya adalah "bos-bos" para ketua partai.
Rakyat melihat, sidang-sidang DPR lebih sering jadi panggung politik daripada ruang solusi. Kebijakan sering terasa jauh dari kebutuhan warga biasa. Transparansi minim, keberpihakan kabur, dan integritas anggota dewan serta empatinya kerap dipertanyakan.
Maka ketika demonstrasi ricuh terjadi akhir Agustus ini, wajar jika publik melontarkan ide yang terdengar ekstrem: anggota DPR harus S2 dan punya TOEFL 500. Ada yang menertawakan, ada pula yang mengangguk setuju.
Bagi sebagian masyarakat, usulan itu bukan soal gengsi gelar atau kemampuan bahasa asing, melainkan simbol harapan. Harapan agar anggota DPR bukan hanya pandai berslogan, tapi juga memiliki kapasitas intelektual dan daya nalar yang mumpuni. Seorang insan pembelajar yang menjadi anggota dewan yang terhormat, empatik, cerdas, dan berwibawa.
Realitas Hukum dan Regulasi
Sekarang, mari kita mundur sejenak ke aspek legal. Saat ini, syarat menjadi anggota DPR diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam pasal tersebut, syarat pendidikan calon anggota DPR hanya sebatas lulusan minimal SMA atau sederajat.