"Seorang guru mungkin tidak mencetak uang, tetapi ia mencetak generasi yang kelak menentukan arah sebuah bangsa."
Kutipan itu terasa kontras dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam forum publik Agustus 2025. Potongan videonya viral, menyinggung gaji dan tunjangan guru serta dosen sebagai "tantangan serius" bagi keuangan negara. Bagi sebagian publik, ucapan itu tak ubahnya cap bahwa guru adalah beban negara.
Dalam kacamata teknokrat, mungkin itu sekadar bahasa fiskal. Atau, keceplosan? Namun di telinga masyarakat, kata-kata tersebut menyayat. Guru, sosok yang setiap hari mendidik anak bangsa, seakan direduksi menjadi angka dingin dalam spreadsheet anggaran. Profesi mulia yang menjadi pondasi masa depan bangsa justru dipandang sebatas pos pembukuan.
Tak heran gelombang reaksi pun muncul. Akademisi bersuara, partai politik mengkritik, warganet menyalakan perlawanan digital. Polemik ini tak lagi sekadar soal kebijakan, tetapi menyentuh martabat para pendidik.
Lalu pertanyaan mendasar pun mengemuka: apakah negara sungguh melihat guru sebagai beban, atau berani menegaskan mereka sebagai "aset" strategis bangsa?
Anggaran Pendidikan dalam Perspektif Fiskal
Mari kita cermati datanya. Anggaran pendidikan 2025 dialokasikan sekitar 20% dari APBN, setara Rp724,3 triliun. Dari jumlah ini, sebagian besar terserap untuk gaji dan tunjangan guru dan dosen.
Dalam kerangka kebijakan fiskal, wajar bila pemerintah menyebut hal ini sebagai beban belanja wajib. Seperti halnya pembayaran utang, subsidi energi, atau bantuan sosial, gaji guru adalah komponen yang tidak bisa dikurangi sembarangan. Problemnya, bahasa teknokratis yang kering sering kali melukai perasaan publik ketika dipisahkan dari konteks moral dan sosial.
Guru dalam Perspektif Kebijakan Publik
Dalam teori kebijakan publik, ada prinsip dasar bahwa belanja negara itu bukan sekadar cost tetapi juga investment. Guru bukan pos pengeluaran yang menguras, melainkan investasi jangka panjang untuk menghasilkan warga negara berkualitas.
Negara-negara dengan kualitas pendidikan tinggi seperti Finlandia, Korea Selatan, Singapura, justru menempatkan guru sebagai profesi strategis. Mereka diberi kesejahteraan, otoritas, dan penghargaan sosial. Mereka paham, satu rupiah yang digelontorkan untuk guru, akan kembali berlipat dalam bentuk produktivitas, inovasi, dan stabilitas sosial.
Perspektif Risk Management: Risiko Jika Guru Direduksi Jadi Beban
Dalam manajemen risiko, kita menilai konsekuensi dari setiap kebijakan. Ada risiko besar bila negara hanya melihat guru sebagai beban fiskal:
1. Risiko degradasi mutu pendidikan.
Guru yang tidak sejahtera cenderung kehilangan motivasi dan kualitas mengajar. Ini efek domino bagi kualitas generasi muda.