Ia tidak mengenakan jubah, tidak pula berdiri di atas panggung. Namun setiap langkahnya adalah jejak perjuangan, dan setiap diamnya adalah zikir yang dalam.
Di tengah gemuruh dunia yang menyanjung para tokoh besar, ada satu sosok yang sering luput dari tepuk tangan: ayah.
Ia bukan penceramah hebat, bukan pula pembicara yang fasih menggetarkan aula. Tapi ia berbicara lewat tindakan, berdoa dalam diam, dan mencintai tanpa banyak kata.
Pejuang yang Tak Pernah Pulang dengan Cerita
Ayah pulang malam bukan karena ingin menghindar dari rumah, tapi karena ia ingin memastikan rumah itu tetap ada. Tetap berdiri, dan cukup hangat untuk anak-anaknya tumbuh.
Ia tidak pernah menceritakan betapa letihnya berjalan. Betapa sempitnya napas saat menghadapi tekanan hidup dan kebutuhan. Atau betapa hancurnya hati saat merasa gagal menjadi pelindung keluarga.
Baginya, diam adalah bentuk paling jantan dari kesabaran. Di balik diamnya ayah, ada harapan yang tak pernah padam. Dan keringatnya, adalah bahasa cinta yang paling jujur.
Pahlawan yang Tak Butuh Sorotan
Ayah tak meminta dikenang, tapi setiap lelahnya telah mengukir masa depan anak-anaknya dengan cinta yang tak bersuara.
Ya, sungguh ayah tak pernah meminta dikenang, apalagi dihormati dengan bunga atau lencana. Cukuplah baginya melihat anaknya bisa sekolah. Juga melihat istrinya tersenyum karena dapur tak lagi kosong. Ia hanya ingin memastikan, masa depan bisa lebih baik dari yang ia miliki.