"Kepercayaan adalah pondasi sebuah bangsa. Jika ia runtuh, segalanya hancur. Bangkitlah, karena negeri ini menunggu orang-orang baik untuk berdiri."
Ibu Pertiwi telah lama kehilangan air mata. Ia menangis dalam gelap. Tangisannya nyaris tak bersuara. Orang-orang baik lebih banyak memilih diam, negarawan tak lagi berperan, sementara bangsawan seakan tertelan awan. Kepercayaan, nilai luhur yang seharusnya menjadi fondasi bangsa, kini terasa semakin rapuh. Kita bertanya-tanya: kepada siapa lagi kita harus percaya?
Laporan Ipsos Global Trustworthiness Index 2024 menggambarkan realitas yang memilukan. Guru (74), dokter (73), dan ilmuwan (70) masih menjadi profesi yang paling dipercaya. Merekalah pilar moral dan intelektual yang masih bisa kita andalkan. Namun, lihatlah siapa yang berada di daftar paling tidak dipercaya: politisi (45), polisi (41), pejabat kabinet/kementerian (41), influencer media sosial (25), pengacara (24), pegawai pemerintah (24), dan hakim (23). Sebuah tamparan keras bagi sistem yang seharusnya menjadi pengayom rakyat.
Dunia yang seharusnya dipenuhi keadilan kini seperti panggung sandiwara. Keputusan-keputusan yang diambil sering kali lebih berpihak pada kepentingan segelintir orang dibandingkan kepentingan rakyat banyak. Pejabat yang seharusnya mengabdi justru menjadi perpanjangan tangan oligarki. Aparat yang seharusnya melindungi justru kehilangan kepercayaan. Hukum yang seharusnya menegakkan keadilan malah sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Lihatlah sekeliling kita. Anak-anak stunting nampak semakin kurus. Pabrik-pabrik besar gulung tikar. Industri-industri terhimpit kesulitan. Daya beli masyarakat kian menurun tajam. Sementara itu, skandal demi skandal terbuka dan menganga, tapi penegakan hukumnya kerap tertunda, bahkan dialihkan dengan isu-isu lain yang tidak pro-rakyat.
Lalu, muncullah tagar #KaburAjaDulu. Bukan sekadar sindiran, tapi refleksi pahit atas krisis kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara. Tagar ini bukan sekadar ungkapan kekecewaan, melainkan jeritan hati rakyat yang merasa terabaikan. Namun, di balik semua kegelapan ini, masih ada secercah harapan.
Guru tetap menjadi cahaya di tengah kegelapan. Mereka adalah penjaga moral generasi penerus. Begitu pula dokter dan ilmuwan, yang dengan pengabdian mereka berusaha membawa kemajuan bagi umat manusia. Namun, betapa ironisnya melihat bahwa mereka yang duduk di kursi kekuasaan, yang seharusnya menjadi contoh dan teladan, justru kehilangan kepercayaan rakyat.
Mengapa bisa begini? Apakah ini hasil dari sistem yang sudah terlalu lama membiarkan ketidakjujuran berakar? Apakah ini akibat dari masyarakat yang semakin permisif terhadap keburukan? Ataukah ini adalah buah dari keserakahan yang tak lagi mengenal batas?
Meski kepercayaan publik kian tergerus, harapan belum sepenuhnya padam. Kita masih memiliki orang-orang baik yang tetap teguh di jalan kebenaran. Mereka adalah pahlawan-pahlawan kecil yang terus berjuang meski dalam kesunyian. Namun, mereka tak bisa sendirian. Kita semua harus bersuara. Kita harus menolak untuk terus diam. Kepercayaan yang telah terkikis harus dipulihkan, dan itu hanya bisa terjadi jika orang-orang baik berani berdiri.
"Ya Allah, jadikanlah orang terbaik kami sebagai pemimpin kami. Jangan Engkau berikan kekuasaan itu pada orang yang jahat dari kami."