Sungguh, menjadi ayah mahal, proses dan syaratnya sangat unik. Bisa ditempuh oleh ayah manapun, tanpa syarat dan kriteria yang kasat mata. Dan saya mendapati kisah nyata, ada di bagian akhir tulisan ini.
Ya, bahwa menjadi ayah mahal, tidak mengharuskan ayah dengan pendidikan tinggi. Tidak hanya bisa disandang ayah yang bergelar dan intelek, bukan dominasi ayah bergelimang harta.
Menjadi ayah mahal, tidak musti ayah yang keturunan darah biru. Sama sekali tidak pandang penampilan fisik, dan atau paras yang rupawan.
Karena menjadi ayah mahal, bisa diraih oleh ayah manapun. Asalkan ayah, rela menempuh perjuangan yang tak mudah itu. Yaitu bersedia belajar, terus menerus mengasah naluri keayahan. Ayah yang menempuh waktu sepanjang hayat, membuktikannya dalam perilaku sehari- hari.
Menjadi ayah yang mahal, musti dibayar dengan proses yang mahal juga. Ayah musti melawan kemalasan, beradaptasi dan update dengan era anak-anaknya. Siap dengan pembaruan yang tak ada selesainya, ayah musti menyingkirkan ego jauh- jauh.
Setiap proses, ayah akan dipertemukan dengan benturan- benturan. Disajikan kenyataan random, yang tidak sesuai dengan harapan. Namun sejatinya di kondisi apapun, bisa menjadi moment ayah mengasah naluri keayahan.
Sementara algoritma kehidupan biarkan bekerja, dengan hukum sebab akibat yang menyertai. Ayah yang menempuh jalan berliku, niscaya mendapati hasil setimpal. Naluri keayahan itu terbentuk, dan akan dirasakan anak istri.
---- ---- ----
Terhitung dua puluh tahun berumah tangga, bersama istri kami jatuh bangun melewati waktu. Amanah kehidupan mempercayai saya, menjadi suami dan ayah. Memimpin kapal bernama rumah tangga, menghadapi ombak badai menuju pulau harapan.
Tugas keayahan bagi saya, seumpama medan juang dan atau medan jihad. Sangat menantang dan penuh liku, menguras energi dan pikiran.