Teman lama, usianya sepantaran saya. Mengirim pesan via aplikasi percakapan, minta tolong dicarikan kenalan. Â Teman ini ingin segera menikah, meski sudah di umur paruh baya. Rasa kekawatiran menyelimuti, bakal melewati masa tua seorang diri.
Di usia yang tidak muda, kondisi badan jauh berbeda dengan saat belia. Meski sudah berolah raga, tetap saja usia tulang tidak bisa dibohongi. Dan saya mengamini, karena mengalami sendiri.
Tubuh manusia, seumpama barang yang bisa aus dimakan waktu. Ibarat selembar kain akan koyak dan mudah sobek, jika sudah lama dibuat meski selalu disimpan rapi di lemari. Pun daya tahan tubuh manusia, akan menurun seiring bergulirnya waktu.
Kalau ada kalimat, usia boleh tua tapi jiwa tetap muda, ya boleh-boleh saja. Tetapi bahwa kemudian, badan gampang capek, dengkul cekot cekot naik turun tangga, tenaga tak lagi powerfull. Itulah panggilan alami tak dihindari, bagi yang umurnya -- sekira-- setengah abad.
Di selang waktu berbeda, teman di kantor lama curhat kesulitan keuangan. Mbarepnya diterima di Kampus Negeri di luar Jakarta, membutuhkan dana untuk membayar sekolah dan biaya hidup. Â Kegalauan yang semisal, ternyata dialami dirasakan orangtua dari jaman ke jaman.
Curhatan teman ini, otomatis mengingatkan ibu saya di posisi yang sama. Semasa kakak kedua masuk kuliah, saat saya di bangku akhir sekolah dasar. Empat puluh tahun kemudian, ibu kini sepuh---79 tahun-- Â dirawat anak dan cucu di kampung.
Manusia hidup, tak lepas dari masalah. Mau memilih jomlo atau menikah, keduanya sama-sama beratnya. Â Keputusan di tangan masing-masing, akibatnya ditanggung masing-masing.
E'tapi, kalau kedua sama berat, apa tidak sebaiknya ditimbang manfaat mudhorotnya. Kita hidup di dunia, sudah ada tuntunannya ada panduannya.
Menikah adalah syariat, tentu mengandung banyak keutamaan. Asal dijalani sesuai tuntunan, niscaya keberkahan itu akan melingkupi kehidupan.
------